Saya sudah lupa setiap hari apa. Kami mengikuti pelajaran olah raga pagi-pagi buta. Biasanya kami berangkat setelah subuh. Kami menyebutnya PD. Apédé kata kerja yang bersinonim dengan berolah raga. Dengan kaos olah raga dan celana pendek tanpa tas. Sepatu? Jangan tanya. Sebagian besar kami tak punya. Kepala sekolah dasar saya Pak Sayyadi namanya. Beliau hanya mewajibkan topi dan dasi untuk seragam. Kata beliau sepatu mahal dan tidak bisa memaksa. Saya? Bapak selalu membelikannya. Yang saya ingat Rieker, merek sepatu yang populer 1990-an. Urusan sekolah prioritas bagi orang tua saya. Uang saku? Pelit. Eh salah. Irit.
Olah
raga selalu dimulai dengan lari keliling lapangan. Lalu senam dipimpin oleh
guru olah raga. Guru olah ragaku Bu Dewi namanya. Wajahnya? Samar-samar dalam
ingatan. Yang paling saya ingat hukuman beliau. Combel. Mencubit agak
besar pada bagian dada. Tentu untuk siswa laki-laki. Jangan tanya sakitnya. Bahkan
sering ada memar kehijauan. Lapor orang tua? Dapat bonus tambahan. Omelan.
Acara
dilanjutkan dengan permainan. Biasanya bola untuk siswa laki-laki dan lompat tali
untuk perempuan. Jangan tanya aturan. Yang penting gembira. Olah raga selesai kira-kira
pukul 7.30 bersamaan dengan siswa kelas lain yang mulai berdatangan. Kami masuk
pukul 7.30, bukan pukul 7. Kami pulang dan kembali lagi pukul 9.30.
Terus?
He he... Cerita ini tentang PD. Apa itu? Singkatan ini kembali populer saat
saya di sekolah menengah. Entah menengah atas apa bawah. Populer bersamaan
dengan sponsor deodoran untuk ketiak. Percaya diri. Percaya diri? Logika saya
menolak. Apa hubungannya dengan oleh raga? Kok tidak nyambung?
Waktu
pun terus berlalu. Masa kuliah kulalui. S1 lalu lanjut S2. Entah kapan saya
periksa dalam KBBI edisi IV. Ada singkatan pada bagian belakang. PD? Bukan. Dalam
gabut terlintas kata Damri. Bis kota jurusan Kamal-Burneh. Suramadu belum ada waktu
itu.
Damri?
Apa hubungan bis dan olah raga? Kita lanjut dulu ya? Damri rupanya akronim dari
Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia. Sudah bisa menghubungkan? Perhatikan
D pada Damri. Ternyata itu J dalam ejaan van Ophuijsen. Dan PD? Pendidikan Djasmani
dengan menggunakan ejaan Soewandi. Dari mana kami dengar kata apédé? Dari
teguran orang tua ketika kami tidur larut. Cong, ayo tèḍung. Lagghu’ apéḍé. Tako’
kasiyangan. ‘Cong, ayo tidur. Besok (pelajaran) olah raga. Takut kesiangan.’
0 comments:
Posting Komentar