28 Maret 2025

KIRIM TULISAN

 

Ruang Budaya adalah situs web yang dikelola dengan sederhana. Namun, kami ingin berkembang dan memberi kontribusi pada bangsa dan negara. Untuk itu, kami mengharap kontribusi tulisan untuk pengembangan situs ini.

Bagi saudara-saudari yang memiliki tulisan berkaitan dengan budaya yaitu bahasa, sastra, adat-istiadat, upacara-upacara, dsb dan hendak mempublikasikannya, silakan kirim ke email majalahruangbudaya@gmail.com. Sertakan nama dan nomor gopay di bagian bawah tulisan. Honorarium untuk tulisan yang kami muat, kami bayar sesuai kemampuan kami.

Continue reading KIRIM TULISAN

22 Maret 2025

, ,

SYAIUN: SESUATU ITU BERWUJUD MAKANAN

 Puasa Ramadan dengan segala nuansanya menjadi sangat istimewa. Amal ibadah berupa salat tarawih, zakat, sedekah, dan sebagainya dilipat gandakan pahalanya. Ya, sayang itu tak terlihat kasat mata. Yang jelas ada fenomena baju baru hari raya, opor ayam, uang jajan, dan makanan berbuka yang menggugah selera. Bagi anak kecil ini tentu istimewa meski di sisi lain membuat orang tua sedikit sakit kepala.

Bagi orang dewasa, mudik media silaturahmi dan menceritakan perantauan. Sebagian untuk unjuk kesuksesan. Ada yang bawa mobil cc besar. Kita tak boleh bersangka itu sewa. Baik sangka saja. Riuh saling nilai baju baru selesai salat id dan mukena masuk lipatan sajadah. Sedekah tahunan ajang unjuk kesuksesan. Hari lain? Lain cerita.

Tapi... biarlah. Itu bukan ajaran agama. Itu cara pikir. Kali ini kita cerita budaya. Darusân. Akhiran -an sering bermakna budaya islami seperti yâsinan, sabellâsân, manaqibhân, dsb. Tak relevan disebut bid’ah sebab ini budaya. Bukan ibadah, seperti tellasân topa’ atau kupatan yang merupakan hari raya untuk enam hari puasa syawal. Isinya hanya syukur soal hati. Seperti juga tahlilan yang sekarang sering diisi main HP oleh sebagian generasi mudanya. He he he...

Darusân singkatan dari tadārus ‘saling belajar’. Berasal dari akar dal, ra’, dan sin. Awalnya saling. Lama-lama jadi ajang unjuk kepintaran baca. Awalnya saling meng(k)oreksi. Lama-lama saling menjatuhkan. Akhirnya darusan beralih menjadi baca quran secara estafet. Tapi toh itu tak masalah. Daripada tidak baca quran baik dalam ramadan maupun di luar.

Menarik? Tidak? Sudah biasa? Baik kita pindah ke makanan saja. Tapi, masih dalam lingkup darusân. Syaiun.

Bukankah syaiun itu berarti sesuatu? Di desa saya syaiun adalah suguhan yang diberikan suka rela oleh anggota masyarakat. Wujudnya bisa apa saja. Gorengan, lemper, atau bahkan hidangan makan seperti nasi, bubur, dsb. Tentu saja pasti ada kopi. Tapi, mengapa syaiun? Apa orang kampung saya begitu fanatik dengan bahasa Arab? Atau apa itu nama yang lebih islami daripada nama yang memakai bahasa lokal? Atau... ada ustaz atau ulama yang segan menyatakan ada makanan sebab kesannya bu’-tabu’ân? Syaiun berperan sebagai eufemisme untuk makanan? Wallahu a’lam.

Yang jelas, syaiun menemani kami untuk baca Quran sepanjang malam. Tentu bagi yang tidak sekolah paginya. Sebelum saya tutup, saya ingin menjelaskan kata bu’-tabu’ân. Kata ini berasal dari tabu’ yang berarti perut. Bu’-tabu’ân adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan guru atau pemangku yang suka meminta makanan dengan sindiran atau secara langsung. Tentu umat atau santri terpaksa memberikan meski berat hati karena segan. Ini berlaku juga untuk ulama atau ustaz yang mendatangi salah satu undangan dari beberapa dengan pertimbangan nasi berkat yang paling baik.

Continue reading SYAIUN: SESUATU ITU BERWUJUD MAKANAN

03 Maret 2025

, , ,

APÉDÉ DAN DAMRI: PEMAHAMAN PERLU WAKTU

Saya sudah lupa setiap hari apa. Kami mengikuti pelajaran olah raga pagi-pagi buta. Biasanya kami berangkat setelah subuh. Kami menyebutnya PD. Apédé kata kerja yang bersinonim dengan berolah raga. Dengan kaos olah raga dan celana pendek tanpa tas. Sepatu? Jangan tanya. Sebagian besar kami tak punya. Kepala sekolah dasar saya Pak Sayyadi namanya. Beliau hanya mewajibkan topi dan dasi untuk seragam. Kata beliau sepatu mahal dan tidak bisa memaksa. Saya? Bapak selalu membelikannya. Yang saya ingat Rieker, merek sepatu yang populer 1990-an. Urusan sekolah prioritas bagi orang tua saya. Uang saku? Pelit. Eh salah. Irit.


Olah raga selalu dimulai dengan lari keliling lapangan. Lalu senam dipimpin oleh guru olah raga. Guru olah ragaku Bu Dewi namanya. Wajahnya? Samar-samar dalam ingatan. Yang paling saya ingat hukuman beliau. Combel. Mencubit agak besar pada bagian dada. Tentu untuk siswa laki-laki. Jangan tanya sakitnya. Bahkan sering ada memar kehijauan. Lapor orang tua? Dapat bonus tambahan. Omelan.

Acara dilanjutkan dengan permainan. Biasanya bola untuk siswa laki-laki dan lompat tali untuk perempuan. Jangan tanya aturan. Yang penting gembira. Olah raga selesai kira-kira pukul 7.30 bersamaan dengan siswa kelas lain yang mulai berdatangan. Kami masuk pukul 7.30, bukan pukul 7. Kami pulang dan kembali lagi pukul 9.30.

Terus? He he... Cerita ini tentang PD. Apa itu? Singkatan ini kembali populer saat saya di sekolah menengah. Entah menengah atas apa bawah. Populer bersamaan dengan sponsor deodoran untuk ketiak. Percaya diri. Percaya diri? Logika saya menolak. Apa hubungannya dengan oleh raga? Kok tidak nyambung?

Waktu pun terus berlalu. Masa kuliah kulalui. S1 lalu lanjut S2. Entah kapan saya periksa dalam KBBI edisi IV. Ada singkatan pada bagian belakang. PD? Bukan. Dalam gabut terlintas kata Damri. Bis kota jurusan Kamal-Burneh. Suramadu belum ada waktu itu.

Damri? Apa hubungan bis dan olah raga? Kita lanjut dulu ya? Damri rupanya akronim dari Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia. Sudah bisa menghubungkan? Perhatikan D pada Damri. Ternyata itu J dalam ejaan van Ophuijsen. Dan PD? Pendidikan Djasmani dengan menggunakan ejaan Soewandi. Dari mana kami dengar kata apédé? Dari teguran orang tua ketika kami tidur larut. Cong, ayo tèḍung. Lagghu’ apéḍé. Tako’ kasiyangan. ‘Cong, ayo tidur. Besok (pelajaran) olah raga. Takut kesiangan.’

Continue reading APÉDÉ DAN DAMRI: PEMAHAMAN PERLU WAKTU