Nyolok? Bahasa mana itu? Biarlah saya cerita. Tentu jangan berkesimpulan bahwa cerita ini benar semua. Memori itu absurd. Bisa terdistorsi antara fakta lama dan imajinasi. Tapi, sudahlah… percaya atau tidak saya akan tetap bercerita.
Pengalaman mencari ilmu yang paling
dominan dalam memori, tentu, di Pondok Pesantren Darul Hikmah. Saya tidak
pernah mukim di pondok. Hanya berangkat sebelum Maghrib, pulang pagi pukul 7
istiwa, untuk balik sekolah formal pada pukul 8 istiwa. Pulang pukul 12 istiwa
menjelang zuhur. Saya sudah lupa kapan itu dimulai. Seingat saya tsanawiyah
kelas dua awal.
Semua pengajian saya ikuti sama
dengan santri yang mukim di pondok. Hanya pengajian setelah asar saja yang
tidak saya ikuti. Secara keseluruhan 3/4 waktu saya di pesantren. Senang? Mulanya.
Sampai… Saya merasa bosan. Sia-sia. Apa yang saya ikuti tidak masuk sama sekali
ke kepala. Atau… mungkin perasaan saya saja.
Dalam kebosanan itu ada sebuah jalur
alternatif. Bahasa Inggris. Saya sudah lupa kapan tepatnya dan bagaimana
mulanya. Yang jelas kami berempat ikut kursus subuh di EQC. Lembaga ini telah
saya ceritakan pada cerita yang lain. Melalui buyut saya yang masih ada
hubungan famili dengan Mi’, sebutan untuk ibu haji singkatan dari ummi. Saya ikut
selama kurang lebih satu setengah tahun. Sebutan untuk kami adalah outsider.
Kata ini berkonteks siswa yang tidak mondok yang bisa keluar kapan saja. Demikian
juga masuknya.
Kesadaran muncul untuk mengaji lagi saat
semester genap SMU kelas satu. Dengan berbekal gramatik bahasa Inggris untuk
diperbandingkan, ternyata nahwu itu mudah. Bahasa kerennya metode kontrastif. Baru
saya ketahui setelah kuliah S2 karena sering mengajar linguistik. Padahal, S2
ilmu sastra. Mungkin juga sebab sering menulis bahasa Madura.
Pada periode kedua ini merupakan
periode mengaji paling panjang. Saya mengaji di pesantren sampai anak saya lahir.
Paling tidak hataman tiap bulan Ramadan. Hataman sendiri mengaji hanya untuk
memberi makna. Bahasa Maduranya nyasa’.