24 Februari 2025

,

NYOLOK SAMA DENGAN OUTSIDER

 Nyolok? Bahasa mana itu? Biarlah saya cerita. Tentu jangan berkesimpulan bahwa cerita ini benar semua. Memori itu absurd. Bisa terdistorsi antara fakta lama dan imajinasi. Tapi, sudahlah… percaya atau tidak saya akan tetap bercerita.

Pengalaman mencari ilmu yang paling dominan dalam memori, tentu, di Pondok Pesantren Darul Hikmah. Saya tidak pernah mukim di pondok. Hanya berangkat sebelum Maghrib, pulang pagi pukul 7 istiwa, untuk balik sekolah formal pada pukul 8 istiwa. Pulang pukul 12 istiwa menjelang zuhur. Saya sudah lupa kapan itu dimulai. Seingat saya tsanawiyah kelas dua awal.



Semua pengajian saya ikuti sama dengan santri yang mukim di pondok. Hanya pengajian setelah asar saja yang tidak saya ikuti. Secara keseluruhan 3/4 waktu saya di pesantren. Senang? Mulanya. Sampai… Saya merasa bosan. Sia-sia. Apa yang saya ikuti tidak masuk sama sekali ke kepala. Atau… mungkin perasaan saya saja.

Dalam kebosanan itu ada sebuah jalur alternatif. Bahasa Inggris. Saya sudah lupa kapan tepatnya dan bagaimana mulanya. Yang jelas kami berempat ikut kursus subuh di EQC. Lembaga ini telah saya ceritakan pada cerita yang lain. Melalui buyut saya yang masih ada hubungan famili dengan Mi’, sebutan untuk ibu haji singkatan dari ummi. Saya ikut selama kurang lebih satu setengah tahun. Sebutan untuk kami adalah outsider. Kata ini berkonteks siswa yang tidak mondok yang bisa keluar kapan saja. Demikian juga masuknya.

Kesadaran muncul untuk mengaji lagi saat semester genap SMU kelas satu. Dengan berbekal gramatik bahasa Inggris untuk diperbandingkan, ternyata nahwu itu mudah. Bahasa kerennya metode kontrastif. Baru saya ketahui setelah kuliah S2 karena sering mengajar linguistik. Padahal, S2 ilmu sastra. Mungkin juga sebab sering menulis bahasa Madura.

Pada periode kedua ini merupakan periode mengaji paling panjang. Saya mengaji di pesantren sampai anak saya lahir. Paling tidak hataman tiap bulan Ramadan. Hataman sendiri mengaji hanya untuk memberi makna. Bahasa Maduranya nyasa’.

Nyolok? Ngaji ke pesantren tanpa mondok. Dan outsider dalam cerita saya bersinonim dengan nyolok. Nyolok sendiri berasal dari sejenis obor yang bernama colok. Nyolok artinya berjalan atau bepergian menggunakan penerangan colok atau obor. Nyolok kemudian menjadi kata tersendiri yang berarti ngaji ke pesantren pada malam hari. Siangnya tidak di pesantren yang membedakan dengan santri pondok yang siang malam di pesantren.
Continue reading NYOLOK SAMA DENGAN OUTSIDER

10 Februari 2025

, ,

TELLO’ TELLO’ SAPOLO BHIRU DONGKER (MADURA PUN BERBAHASA “BELANDA”)

 

Saya yakin Anda yang seumuran dengan saya tahu maksud judul tersebut? Itu adalah hp Nokia yang populer pada awal dekade 2000-an.

Saya membeli HP pertama saya saat semester lima atau enam. Entahlah. Yang jelas bukan semester empat. Harganya pun sudah lupa. Seingat saya antara 300-500 ribu Rupiah. Second hand asal Malaysia. Warnanya biru dongker. Layar monochrome, tentu tanpa kamera. Itu saja sudah istimewa. Pada waktunya tentu saja.



Kartu sim pertama XL. Harga 50 ribu isi pulsa 25 ribu. Biaya sms (short message service, layanan pesan singkat) 350 rupiah sekali kirim dangan jumlah karakter terbatas. Biaya telepon 2000 per menit. Tentu dipakai seperlunya. Harga pulsa tidak ramah kantong mahasiswa meski sambil berkerja sebagai honorer swasta. Rp 128.000 sebulan hanya cukup bayar kuliah 50 ribu, transportasi, keperluan mandi, dan pulsa. Makan masih numpang orang tua.

Biarlah... Kita abaikan kisah mengharukan itu. Saya lanjutkan dengan cerita Nokia 3310. Tidak sama dengan penyebutan internasionalnya, di Madura handphone ini di sebut tello’ tello sapolo ‘tiga tiga sepuluh’. Dalam bahasa Inggris Nokia thirty three ten atau 33-10. Jika mau konsisten bisa dibaca “tiga ribu tiga ratus sepuluh” atau 3310. Sayangnya, angka itu bukan jumlah. Mungkin “tiga puluh tiga sepuluh” atau 33-10. Bisa juga “tiga tiga satu kosong” atau 3-3-1-0. Orang Madura tak memilih ketiganya. Mereka menyebut hp ini Nokia tello’ tello’ sapolo atau 3-3-10. Campuran tidak padu, kan?

Bhiru dongker? Bhiru dalam konteks ini adalah biru dalam bahasa Indonesia. Bukan hijau seperti biasanya. Sedangkan dongker berarti tua. Bhiru dongker berarti biru tua atau biru gelap yang dalam bahasa Inggris disebut dark blue. Bahasa Belandanya? Donkerblauw.

Baiklah kita bahas bhiru dulu. Bhiru dalam bahasa Madura bermakna dua, bisa hijau atau biru. Biasanya dibedakan dengan penjelas frasa. Bhiru ḍâun ‘biru daun’ untuk hijau dan bhiru langngè’ ‘biru langit’ untuk biru. Biru tua di sebut bungo. Mirip ungu, kan? Nah, ungu sendiri disebut bungo terrong. Ribet gak itu?

Dengan konsep biru yang ribet tersebut, muncul juga frase bhiru dongker. Secara harfiah berarti biru tua. Mengapa tak pakai bungo saja? Atau bhiru tuwa. Mengapa harus dongker? Apa ini tanda bahwa orang Madura memang ghâ-oghâ? Tak tega rasanya menyebut demikian. Baiklah kita sebut saja bahwa orang Madura pun berbahasa Belanda?

Kembali ke 3310. Nokia 3310 ini menceritakan sebuah cerita. He he he... Diksi yang janggal. Menceritakan sebuah cerita. Tentang Nokia ber-casing pink saat si bhiru dongker bermasalah dan masuk reparasi. Kejadian ini terjadi kira-kira setahun setelah Nokia 3310 saya beli. Mungkin lebih.

“Pakai saja hpku, Mas.”

“Serius?” Sambil menatapnya penuh tanda tanya. Hp bukan barang murah. 300 ribu senilai spp satu semester di STKIP. Dia bersedia meminjamkan? Kami tak punya hubungan istimewa. Hanya kenal sedikit akrab. Gak takut hpnya saya jual?

“Serius!” dengan senyum khas-nya. Ia menganjurkan hp itu.

Saya pun mengambil hp tersebut. Dia berpesan agar kartu sim-nya saya amankan. Nomor itu sudah terlanjur menyebar.

Di rumah, saya buka casing belakang, lepas baterai, lepas kartu sim, kemudian saya ganti dengan kartu sim saya. Tentu setelah perangkat dimatikan. Pasang baterai, casing belakang dan tekan tombol on/of. Hp ber-casing pink aktif. Tiga hari saya pakai hp itu dan wajah pemiliknya memaksa masuk dalam memori kepala.

Belakangan beberapa tahun kemudian saya bertanya. Ia menjawab bahwa ia percaya. Dan ketika saya tanya kenapa percaya, ia tak bisa menjelasakan alasannya.

Continue reading TELLO’ TELLO’ SAPOLO BHIRU DONGKER (MADURA PUN BERBAHASA “BELANDA”)