Yâsinan. Ternyatan tidak hanya baca yasin. Ada juga pembacaan salawat diiringi hadrah. Gampangnya begitu. Seperti juga tahlilân. Tidak hanya bacaan tahlil. Ada yasin, salawat, zikir, dsb. Kita tidak bicara itu. kita bicara acara makan-makan setelahnya. Disclaimer: kami membaca untuk Allah bukan untuk berhala ya. Soal Allah terima atau tidak itu sepenuhnya di Tangan-Nya. Soal ada yang membid’ahkan itu urusan mulut masing-masing. Saya abaikan. Sebab pernyataan penonton tidak menentukan juara. Hanya juri yang lebih tahu. Dan, juri amalan saya tak usah saya sebutkan. Anda semua pasti sudah tahu. He he he...
To the point saja. Poinnya? Oh iya. Judul. Baiklah saya akan
bercerita.
Waktu itu, seingat saya, yasinan
diadakan setiap malam Minggu. Maunya saya tulis Ahad. Tapi, sudahlah Minggu resmi
dari pemerintah. Malam Jumat untuk perempuan. Dari rumah ke rumah. Tentu rumah
anggota. Langkap barat. Saya ikut yasinan langkap barat. Sorenya pasang toa. Jauhari
ahlinya. Naik pohon, perbaikan, dsb. Saya? Tim hore. Kadang tukang panggul dari
masjid ke TKP.
Ketika sampai di masjid
setelah pemasangan, sering kali ada pertanyaan bocoran. Apa kedi’? ‘Apa nanti
malam?’ Dan itu selalu mengarah ke “Makan apa kita nanti malam?” Disclaimer
lagi. Ini tidak terkait dengan datang atau tidak datang. Hanya gurauan. Sebab,
setelah ada jawaban, kami tertawa bersama-sama. Apa pun hidangannya nanti
malam.
Yasinan dimulai setelah
maghrib. Geng masjid berangkat semua. Saya sebut anggotanya. Biar tak penasaran.
Abdul Halim, Anas, Basri, Hamzah, Idris, Jauhari, Ros, dan Seli. Tentu saya
juga. Anggota istimewa Barmawi dan Ridwan. Menjelang isya salah satu pamit
pulang ke masjid untuk azan. Setelahnya langsung kembali ke TKP. Begitu selalu.
Salat setelah pulang. Tentu berjamaah. Acara dimulai dengan pembacaan yasin
lalu salawat nariyah dilanjutkan salawat barzanji dengan hadrah. Tentu dengan
mahal al-qiyām alias berdiri. Sambil goyang-goyang kecil. He he he..
Ramah tamah. Eh salah. Makan-makan.
Dan... ini saat krusial. Terutama kami bagian ujung lingkaran. Kanan atau kiri.
Jika ada tujuh orang, piring bisa delapan, sembilan, dan seterusnya. Tuan rumah?
Hanya tersenyum dan pura-pura tak melihat. Dan siapa yang makan lebih dari
satu? Ada di antara kami yang menawarkan. Itu pemantik saja. Yang lain
mengambil piring kedua. Bahkan, ketiga. Sambil tersenyum dia berkata, “Toḍus,
tona.” Artinya, ‘Malu, rugi.’ Itulah mantra yang melancarkan rizki. He he
he...
Pelaku tidak malu. Sebab, ini
sama sekali tidak memalukan. Suasana akrab dan menyenangkan memberi ruang. Ruang
kejujuran dan apa adanya. Bahkan jika tuan rumah melihat ada kelebihan piring
makan yang belum termakan, ia akan berkata, “Ayo tamba. Ongghu.” ‘Ayo
tambah. Sungguh.’ Maksudnya tuan rumah tidak sekedar basa-basi menyuruh kami nambah
jatah. Ia senang jika suguhannya dimakan oleh yang hadir.
Setelahnya, pengurus menyebutkan
siapa giliran malam minggu berikutnya. Lalu ditanyakan OK atau not OK. He he
he.. Ini bahasa saya. Jumlah akhir kas juga disebutkan. Kami bubar dengan slawât
dongkra’. Secara harfiah berarti salawat dongkrak. He he he... Maksudnya
allahumma shalli ‘ala muhammad. Yang dijawab dengan salawat pendek oleh yang
lain secara bersama-sama. Salawat ini meringankan pantat naik untuk berdiri. Sebab,
tidak nyaman untuk pulang lebih dahulu sebelum yang lain. Mirip dongkrak yang
bisa mengangkat barang berat.
Tentu kami tidak bisa pulang lebih
dulu. Kami harus menurunkan toa, mencabut semua kabel dari ampli. Termasuk menggulung
kabel listrik, kabel mik, dsb. Lalu kami bawa kepenyimpanan di ruangan samping
pengimaman. Kami tidur di serambi luar masjid dengan alas tikar pandan yang
dibawa dari pemakaman, pembungkus mayat. Tentu setelah dicuci.
Wallahu a’lam bis sawab.