27 Januari 2025

,

FORMALISME RUSIA

 

Latar Belakang

Formalisme adalah teori dan analisis sastra yang berasal dari Moscow dan St. Petersburg. Teori ini muncul pada dekade kedua abad kedua puluh. Karena berasal dari rusia, teori ini disebut formalisme rusia. Di antara tokoh sentral gerakan teori ini adalah Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky, dan Roman Jacobson (Abrams and Harpham 2015:141–42).


Ketika model kritik ini ditekan oleh pemerintah soviet pada 1930-an pusat gerakan ini pindah ke Cekoslowakia. Gerakan ini diteruskan oleh Lingkar Linguistik Praha dengan tokohnya Roman Jakobson, Jan Mukarovský, dan René Wellek. Pengaruh Wellek dan Jacobson meluas sampai ke Amerika ketika mereka mengajar di beberapa universitas Amerika pada 1940-an (Abrams and Harpham 2015:142).

Konsep Dasar

Formalisme berpandangan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa. Bahasa biasa mengkomunikasikan pesan dan informasi pada pendengar dengan mengacu pada dunia di luar bahasa. Bahasa sastra, di sisi lain, menghadirkan bahasa yang mengandung unsur kebersastraan (literariness). Dalam hal ini, Roman Jacobson menyatakan bahwa objek studi sastra bukan karya sastra tetapi kebersastraan (Abrams and Harpham 2015:142).

Karena berbeda dengan bahasa biasa, bahasa sastra menurut Viktor Shklovsky merupakan  hasil estrange atau defamiliarize. Dalam kesastraan Indonesia disebut dengan istilah defamiliarisasi. Defamiliarisasi ini dipakai oleh penulis untuk menghadirkan sensasi baru yang lebih segar (Abrams and Harpham 2015:143).

 

Daftar Pustaka

Abrams, M. H., and Geoffrey Galt Harpham. 2015. A Glossary of Literary Terms. 11th ed. Boston: Cengage Learning.

 

Disusun Muhri untuk materi kuliah

Continue reading FORMALISME RUSIA

20 Januari 2025

, ,

MALU DAN MEMALUKAN: TOḌUS, TONA

 

Yâsinan. Ternyatan tidak hanya baca yasin. Ada juga pembacaan salawat diiringi hadrah.  Gampangnya begitu. Seperti juga tahlilân. Tidak hanya bacaan tahlil. Ada yasin, salawat, zikir, dsb. Kita tidak bicara itu. kita bicara acara makan-makan setelahnya. Disclaimer: kami membaca untuk Allah bukan untuk berhala ya. Soal Allah terima atau tidak itu sepenuhnya di Tangan-Nya. Soal ada yang membid’ahkan itu urusan mulut masing-masing. Saya abaikan. Sebab pernyataan penonton tidak menentukan juara. Hanya juri yang lebih tahu. Dan, juri amalan saya tak usah saya sebutkan. Anda semua pasti sudah tahu. He he he...



To the point saja. Poinnya? Oh iya. Judul. Baiklah saya akan bercerita.

Waktu itu, seingat saya, yasinan diadakan setiap malam Minggu. Maunya saya tulis Ahad. Tapi, sudahlah Minggu resmi dari pemerintah. Malam Jumat untuk perempuan. Dari rumah ke rumah. Tentu rumah anggota. Langkap barat. Saya ikut yasinan langkap barat. Sorenya pasang toa. Jauhari ahlinya. Naik pohon, perbaikan, dsb. Saya? Tim hore. Kadang tukang panggul dari masjid ke TKP.

Ketika sampai di masjid setelah pemasangan, sering kali ada pertanyaan bocoran. Apa kedi’? ‘Apa nanti malam?’ Dan itu selalu mengarah ke “Makan apa kita nanti malam?” Disclaimer lagi. Ini tidak terkait dengan datang atau tidak datang. Hanya gurauan. Sebab, setelah ada jawaban, kami tertawa bersama-sama. Apa pun hidangannya nanti malam.

Yasinan dimulai setelah maghrib. Geng masjid berangkat semua. Saya sebut anggotanya. Biar tak penasaran. Abdul Halim, Anas, Basri, Hamzah, Idris, Jauhari, Ros, dan Seli. Tentu saya juga. Anggota istimewa Barmawi dan Ridwan. Menjelang isya salah satu pamit pulang ke masjid untuk azan. Setelahnya langsung kembali ke TKP. Begitu selalu. Salat setelah pulang. Tentu berjamaah. Acara dimulai dengan pembacaan yasin lalu salawat nariyah dilanjutkan salawat barzanji dengan hadrah. Tentu dengan mahal al-qiyām alias berdiri. Sambil goyang-goyang kecil. He he he..

Ramah tamah. Eh salah. Makan-makan. Dan... ini saat krusial. Terutama kami bagian ujung lingkaran. Kanan atau kiri. Jika ada tujuh orang, piring bisa delapan, sembilan, dan seterusnya. Tuan rumah? Hanya tersenyum dan pura-pura tak melihat. Dan siapa yang makan lebih dari satu? Ada di antara kami yang menawarkan. Itu pemantik saja. Yang lain mengambil piring kedua. Bahkan, ketiga. Sambil tersenyum dia berkata, “Toḍus, tona.” Artinya, ‘Malu, rugi.’ Itulah mantra yang melancarkan rizki. He he he...

Pelaku tidak malu. Sebab, ini sama sekali tidak memalukan. Suasana akrab dan menyenangkan memberi ruang. Ruang kejujuran dan apa adanya. Bahkan jika tuan rumah melihat ada kelebihan piring makan yang belum termakan, ia akan berkata, “Ayo tamba. Ongghu.” ‘Ayo tambah. Sungguh.’ Maksudnya tuan rumah tidak sekedar basa-basi menyuruh kami nambah jatah. Ia senang jika suguhannya dimakan oleh yang hadir.

Setelahnya, pengurus menyebutkan siapa giliran malam minggu berikutnya. Lalu ditanyakan OK atau not OK. He he he.. Ini bahasa saya. Jumlah akhir kas juga disebutkan. Kami bubar dengan slawât dongkra’. Secara harfiah berarti salawat dongkrak. He he he... Maksudnya allahumma shalli ‘ala muhammad. Yang dijawab dengan salawat pendek oleh yang lain secara bersama-sama. Salawat ini meringankan pantat naik untuk berdiri. Sebab, tidak nyaman untuk pulang lebih dahulu sebelum yang lain. Mirip dongkrak yang bisa mengangkat barang berat.

Tentu kami tidak bisa pulang lebih dulu. Kami harus menurunkan toa, mencabut semua kabel dari ampli. Termasuk menggulung kabel listrik, kabel mik, dsb. Lalu kami bawa kepenyimpanan di ruangan samping pengimaman. Kami tidur di serambi luar masjid dengan alas tikar pandan yang dibawa dari pemakaman, pembungkus mayat. Tentu setelah dicuci.

Wallahu a’lam bis sawab.

Continue reading MALU DAN MEMALUKAN: TOḌUS, TONA