16 September 2024

, ,

SASTRA BANGKALAN DAN PARA PENDATANG

 Muhri


Para pendatang? Apa bayangan yang muncul pertama kali di benak? Penjajah Eropa? Pengungsi Rohingya? Atau etnis Arab Yaman? Apa pun asosiasinya, mari abaikan itu. Tulisan iseng ini tidak untuk bicara sejarah pendatang di atas. Tidak pula aspek politik dan sosiologisnya. Ini tentang pendatang dalam sastra. Sastra Bangkalan.

Tulisan ini tidak untuk memberi selamat datang. Tidak untuk menilai pendatang. Hanya ingin mencatat. Mencatat agar tidak hilang dimakan waktu. Mari mulai pada cerita.

Cerita dimulai dari FPB 2 yang dilaksanakan oleh Komunitas Masyarakat Lumpur. Siapa saja penulisnya? Tak perlu diceritakan. Baca saja buku saya Sejarah Ringkas Kesusastraan Bangkalan. Asal saja, saya ingin membahas hanya tiga penulis. Sesuai judul. Para pendatang. Para pendatang yang dimaksud adalah penulis yang “berproses” pada jalur berbeda dalam kesusastraan Bangkalan. Tiga nama tersebut Buyung Pambudi, Bagus Tri Handoko (alm.), dan Ina Herdiyana.



Katakan saja saya diskriminatif. Saya tidak peduli. He he he. Soal diskriminatif saya akan membahas Ina Herdiyana dulu. Perempuan asal Sumenep ini pernah saya abaikan. Saya nafikan sebagai sastrawan perempuan Bangkalan. Pada acara Mancing Sastra tanggal 22 Juli 2018 saya menyebutkan bahwa ada lima penulis sastra perempuan Bangkalan: Yuni Kartika Sari (dari Komunitas Bawah Arus-saya tulis dahulu agar tidak disebut mutilasi), Irza Nova Husna, R. Nike Dianita F., Dini Islami, dan R. Dian Kunfilah. Keempat penulis terakhir dari Komunitas Masyarakat Lumpur. Dalam makalah berjudul “Bicara Apa Penyair Perempuan Bangkalan dalam Puisinya?”, saya tidak memasukkan Ina Herdiyana. Alasanya sederhana. Bukan orang Bangkalan.

Ternyata, saya salah. Setahun atau dua setelah acara tersebut Ina Herdiyana tetap “berseliweran” dalam acara-acara seni di Bangkalan. Di lain sisi, Dini, Irza mulai menghilang setelah mendapat gelar “Alumni” dari STKIP PGRI Bangkalan. Nike tetap dalam dunia koreografi. Hanya Dian yang masih aktif menulis. Sepertinya saya harus merevisi kata pendatang dalam mindset saya. Sejarah sastra memang tidak harus menjaga penulis sastra tetap eksis. Hanya mencatat. Dan saya alpa mencatat Ina.

Seperti Ina, Buyung Pambudi juga pendatang dalam sastra Bangkalan. Keduanya bekerja di grup Jawa Pos. Ina di Radar Madura, Buyung pernah di JTV. Meski menolak karyanya Cinta di Kaki Bukit Baiyun disebut sastra, karya Buyung Pambudi ini bisa disebut kisah perjalanan, juga memoar. Keduanya termasuk salah satu genre sastra juga. Setelah buku ini, ia menulis beberapa cerita anak. Sampai saat ini, ia aktif di Komunitas Masyarakat Lumpur dengan profesi utama Dosen PBSI STKIP PGRI Bangkalan.

Dengan latar belakang yang mirip dengan Buyung Pambudi, almarhum Bagus Tri Handoko juga menulis sastra. Setelah memutuskan keluar dari Radar Madura, Bagus fokus pada karir dosen. Buku kumpulan puisi Adakah Pagi di Kota Ini? Buku kumpulan puisi dan foto ini ditulis di antara kesibukannya sebagai Humas dan kepala penerbit STKIP PGRI Bangkalan.

Saya tidak akan melupakan penulis senior ini. Saya harus meralat. Empat. Bukan tiga. Ki Suryo. Saya tidak tahu nama aslinya. Ki Suryo adalah nama yang tertulis dalam buku Perjalanan Putih yang terbit 2018. Seorang pensiunan guru dari Barunawati katanya. Sebenarnya masih ada satu karya lagi yang tak jadi terbit sebab terkendala masalah teknis. Penulis yang enak baca puisinya ini tinggal di sebuah perumahan di utara Makam Syaikh Kholil Martajasah.

Keempat penulis ini tidak berasal dari Bangkalan. Ina dari Sumenep; Buyung asal Pati, Jawa Tengah; Bagus dari Kediri; dan Ki Suryo dari Jawa. Entah Jawa mana? Setahu saya, selain Bagus, tiga yang lain menempuh pendidikan di luar Bangkalan. Mungkin mereka tidak bisa dimasukkan sebagai bagian dari angkatan dalam klasifikasi sejarah sastra Bangkalan. Sebab, secara tradisional, sejarah sastra Indonesia mengklasifikasi pembabakan sejarah melalui sistem angkatan. Secara komunal angkatan didasarkan pada kesamaan. Dan, mereka memang berbeda. Mereka tidak beralur dan berproses sama dengan penulis-penulis generasi baru ketika karya mereka diterbitkan. Mereka jelas tidak seumur dengan generasi keempat 2010-an. Ki Suryo berusia lebih jika dibandingkan generasi penulis bangkalan generasi ke dua, generasi yang berproses sebelum tahun 2000. Buyung secara usia masuk ke generasi ke-3, yaitu generasi 2000-an. Bagus dan Ina memang segenerasi dengan keempat tapi mereka bukan aktivis teater yang menjadi karakteristik utama generasi keempat. Mereka memang pendatang. Namun kiprah dan karya mereka harus dicatat. Tidak untuk dikelompokkan tetapi untuk diabadikan dalam catatan

Continue reading SASTRA BANGKALAN DAN PARA PENDATANG

09 September 2024

, ,

MADURA DAN BEBERAPA MALU YANG LAIN: LO-MALO DAN RÂNG-BIRÂNG

 Muhri


Mengulas bahasa Madura secara diakronis menjadi menarik ketika penelitian saat ini cenderung pada yang “terbaru”. Kata ini problematik sebab tak ada yang benar-benar baru dalam penelitian. Mungkin yang dimaksud adalah novelty. Kebaruan. Ada kualitas yang terasa baru atau tidak biasa. Tentu objek lama bisa dirasakan kebaruannya. Baiklah kita kesampingkan hal tersebut. Kita buka kembali perbendaharaan lama dari langue orang Madura. Malu.

Saya akan mengabaikan malu dalam budaya. Kita akan masuk pada malu dalam nama. Dalam nahwu ‘alam jins. Dua kata dari flora dan fauna. Lo-malo dan râng-birâng. Putri malu dan luing atau kaki seribu.

Toḍus merupakan hipernim dari beberapa kata malu dalam bahasa Madura barat. Hiponimnya malo, sengka, cangkolang, dsb. Kaitan dengan dua kata ulang di atas?

Lo-malo [lo.ma.lo] berasal dari malo dengan [o]. Kata ini sedikit berbeda dengan malo [ma.lɔ(h)] dengan bunyi [ɔ] yang bermakna kultural. Lo-malo merupakan serapan dari bahasa Melayu malu. Disebut malu-malu sebab tumbuhan ini mengatupkan daun dan rantingnya ketika disentuh. Menghasilkan personifikasi yang mirip dengan manusia ketika malu yang cenderung menutup muka atau masuk ke ruangan untuk menghindar. Kata ini hanya digunakan dalam penamaan dan tidak ditemukan dalam kategori dan bentuk yang lain. Untuk menyatakan malu orang Madura barat menggunakan kata toḍus.



Kata selanjutnya adalah râng-birâng. Sudah bisa diduga bahwa kata ini serapan dari bahasa Jawa wirang ‘malu’. Bunyi w menjadi b dan a menjadi â. Seperti juga putri malu, kaki seribu akan melingkarkan tubuhnya ketika diganggu sebagai bentuk pertahanan diri. Seperti malo, birâng juga tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari selain sebagai nama. Kata ini bersinonim dengan kata toḍus.

Continue reading MADURA DAN BEBERAPA MALU YANG LAIN: LO-MALO DAN RÂNG-BIRÂNG

04 September 2024

, ,

BEBERAPA TAK ASLI MADURA: MENUJU MADURA BERKEMAJUAN

 Muhri

Pencarian identitas menjadi titik kesadaran seseorang dari suku tertentu. Dulu, saya berada pada persepsi bahwa suku Madura merupakan suku yang berbudaya “memalukan”. Hampir semua budaya Madura merupakan reduksi dari budaya “asli” dari Jawa. Nama bulan, nama hari, weton, tingkatan bahasa, ritus kelahiran, pernikahan bahkan kematian, dan masih banyak lagi yang lainnya (teringat Bang Haji Rhoma).

Saya juga pernah berpikir bagaimana cara lepas dari pengaruh Jawa. Mengidentifikasi diri sebagai bukan Jawa. Dengan menjadi Madura “penuh” makin memalukan lagi. Budaya blatèr pada saat itu kurasa tidak lebih dari budaya preman. Carok, remo dan minuman keras, musik ingar sandur dengan tandak laki-lakinya, mendapat legitimasi “haram” dari Islam. Seorang guru saya juga menceritakan tidak ada peran orang Madura dalam pertempuran Surabaya. Ditambah peristiwa Sambas dan Sampit di Kalimantan.

Sampai... Saya membaca Madura dalam buku-buku peneliti asing. Mulai bangga? Belum. Dalam tulisan penulis Belanda, suku Madura tidak lebih sebagai Jawa yang lebih rendah. Suku Madura selalu di bawah bayang-bayang Jawa. Waktu itu saya masih di Yogyakarta. Bahkan, ketika seorang Profesor meminta menyebutkan angka dalam bahasa Madura, saya merasa canggung dan malu menyebutkan. Padahal, beliau hanya membandingkan dengan bahasa daerah lain untuk kepentingan kuliah tentang simbol dan makna. Kesadaran saya sedikit bangkit ketika beliau menanyakan sebuah kata. Papilon. Nama sebuah diskotik di Yogyakarta. Sebagian teman menganggap itu bahasa Inggris. Namun saya bisa tahu bahwa itu bahasa Perancis. Secara sederhana kata itu dibaca (papiyong) atau dalam tulisan fonetik perancis [papi'jɔ̃]. Artinya kupu-kupu. Bisa dibayangkan kupu-kupu sebagai nama diskotik? Sudah bisa ditarik asosiasinya mengarah ke mana? Tapi, bukan itu yang saya pelajari. Perancis. Perancis pernah menjadi bahasa resmi kerajaan Inggris selama kurang lebih 300 tahun. Bahasa Perancis dianggap bahasa Elit, sedangkan Inggris bahasa jelata. Bagaimana sekarang? Bahasa Inggris menjadi bahasa dengan penutur terbesar di dunia.

Cerita Inggris ini menginspirasi bagaimana sebuah bahasa bisa naik kelas karena penuturnya. Suku yang menuturkannya. Dan Madura, ..... Ia telah menjadi bahasa yang tersendiri, budaya tersendiri, suku tersendiri. Meskipun, sulit membedakan suku Jawa dari suku Madura jika dilihat dari fisiknya. Suku Madura cenderung mengekspresikan idenya dengan lebih lugas. Dominasi bunyi tak bersuara dan bunyi-bunyi beraspirat membuat bahasa Madura terasa kurang merdu jika dibandingkan dengan bahasa Jawa. Seperti juga dominasi bunyi sengau dan pembisuan “konsonan” pada suku tertutup, misalnya Paris yang dibaca pari tanpa s, membuat bahasa Perancis terasa lebih merdu dari bahasa Inggris. Tentu menggunakan bunyi r yang sebunyi dengan huruf arab غ atau secara fonetis digambarkan dengan r kapital kecil terbalik [ʁ].

Seperti juga Inggris, manusia Madura memiliki sifat ekspansif. Mereka merantau dan berkumpul bisa dengan siapa saja. Namun kembali ke identitas ke-Maduraan ketika berkumpul sesama Madura. Hal ini yang menjadi salah satu alasan adanya kabupaten-kabupaten Jawa Timur di luar Madura yang dominan berbahasa Madura. Demikian pula di beberapa daerah di Kalimantan, Jakarta, dan banyak lagi yang lainnya.

Adanya tokoh besar Madura yang berpikiran maju menambah kebanggaan sebagai Madura. M. Tabrani yang memperjuangkan bahasa Indonesia dalam kongres pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Abdul Halim Perdana Kusuma seorang pahlawan asal Sampang, Madura. Dua nama ini saja membuktikan bahwa pernyataan guru saya tentang tak ada tokoh Madura pada perjuangan kemerdekaan menjadi batal dengan sendirinya. Saya tidak menyebutkan Trunojoyo sebab beliau belum mengenal konsep ke-Indonesiaan. Belum lagi tokoh-tokoh berpengaruh setelah masa kemerdekaan.

Sayangnya, kesadaran akan ilmu pengetahuan tidak sejajar dengan kesadaran kesukuan. Orang Madura terdidik cenderung menggunakan bahasa Indonesia dan melupakan bahasa Madura sampai pada taraf canggung mengucapkan karena sudah lama tak diucapkan. Madura seperti bejana kecil yang ketika isinya membesar yang paling atas meluber keluar. Ke-Maduraan seharusnya dimaknai sebagai watak: jujur dan berani plus berilmu dan/atau beradab. Dengan meniru Muhammadiyah “Madura berkemajuan”. Madura dengan jujur dan berani dan berkemajuan dengan ilmu dan peradaban. Selama ini Madura dalam bingkai ke-Indonesiaan terlalu mengadopsi porsi “ke-NU-an” yang terlalu spiritual sehingga spiritualisme ini mengarah pada fanatisme yang mengarah pada pengkultusan. Madura cenderung mengabaikan ke-Muhammadiyah-an yang lebih kognitif-objektif bahkan cenderung profan. Mengutamakan ketuhanan dengan melupakan kemanusiaan. Wallah a’lam bi as-ṣawab.

Continue reading BEBERAPA TAK ASLI MADURA: MENUJU MADURA BERKEMAJUAN