24 Juli 2024

, ,

SENḌÈLAN BUKAN SEKEDAR LAGU

Muhri*

Acara dimulai setelah Isya. Begitu yang tertulis di undangan. Saya sampai kira-kira 19.45 WIB. “Lèbur: Pementasan Kesenian Tradisional Senḍèlan Madhurâ” adalah tajuk kegiatannya. Bertempat di halaman Kantor Kecamatan Bangkalan jalan Kartini depan perpustakaan Bangkalan. Suasana remang membuat orang berkaca mata minus membuat saya tidak bisa melihat siapa saja yang hadir. Joko Sucipto, Sudarsono, dan Hidrochin Sabaruddin sebagian tokoh yang terlihat oleh saya. Sebagian besar yang hadir mahasiswa STKIP PGRI Bangkalan.


Acara dimulai pukul 20.00 oleh pembawa acara. Setelah pembukaan, sambutan Putra Mulya Nurjaya sebagai tuan rumah kegiatan dilanjutkan sambutan oleh perwakilan dari Balai Pelestarian kebudayaan Wilayah XI Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang memberi hibah kegiatan ini.

Acara dilanjutkan dengan pertunjukan drama terkait dengan tajuk di atas. Iringan musik karawitan. Drama mirip Bu’ Lètèr-Pak Lètèr pada sandur atau Soto Madhurâ pada Orkes Melayu Madura. Aktor/Aktris memainkan drama dengan baik. Dialog lancar dan menghibur. Sayang, vokal aktor kurang lugas.

Selanjutnya diskusi dengan pembicara Ahmad Faishal dosen STKW Surabaya dan Rozekki dosen STKIP PGRI Bangkalan. Rozekki fokus pada konsepsi sendelan, Ahmad Faishal fokus pada gerakan sastra tradisional termasuk strategi pengembangan. Diskusi menjadi kurang menarik sebab pemaparan materi terlalu lama. Selain itu, tidak ada makalah yang diberikan kepada peserta yang hadir.

Yang menarik apa yang disampaikan oleh Mas Sudarsono pendiri dan pemimpin Sanggar Tarara Bangkalan. Ia menyatakan bahwa senḍèlan jika dikidungkan menjadi sandur, jika dilagukan menjadi syair. Ia mencontohkan ketiganya dalam lagu yang berbeda. Intinya, senḍèlan bergantung pada lagu. Hal ini dibantah oleh Rozekki. Ia menyatakan bahwa senḍèlan adalah berbalas pantun baik dilagukan atau tidak. Sendèlan berbeda dengan pantun. Pantun sendiri dalam bahasa Madura hanya dikenal dua jenis berdasarkan jumlah lariknya, yaitu paparèghân pantun kilat dua baris dan pantun dengan empat baris.

Sekitar pukul 22.00 WIB acara ditutup dengan hamdalah dan foto-foto. Saya, yang hadir di acara bersama istri, segera pulang. Kurang sehat alasannya. Dari teman-teman yang ada di sana, acara kumpul-kumpul sampai tengah malam.

*Penulis dosen STKIP PGRI Bangkalan

0 comments:

Posting Komentar