Oleh M. Helmi, M.
Pd[i]
[1]
“Cintai
apa yang tidak akan pernah Anda lihat dua kali.”
Kata-kata yang menjadi
fragmen 1 di atas merupakan kalimat pembuka catatan ini. Ditulis oleh Alan Badiou
dalam pendapatnya tentang “Teori Subjek”, di tahun 1982. Sebuah tulisan yang
terkesan sepele, bagi yang malas bertele-tele. Tapi bagi para penggemar makna, tentu
kalimat tersebut dianggap menyimpan kesungguhan yang tiada dua, tiada tara.
Di buku lain, Sanjungan Kepada Cinta, filsuf
kontemporer asal Prancis yang
dicap “kiri” karena banyak inovasinya dianggap radikal—seperti revolusi,
penemuannya yang penuh kejut, dan transfigurasinya dalam segala aspek
mengulang kalimat itu kembali. Singkat, sepotong saja, tapi tuntas. Lebih tegas
dan khusus. Seolah ada peran fungsi yang hendak dituju: betapa penting
sebenarnya hasil yang didapat tatkala kalimat tersebut masuk ke dalam pikiran
pembaca. Untuk direnung, untuk dipejamkan, dan kemudian dihantar ke tempat di
mana makna yang sebenarnya bercongkol.
“Cintai apa yang tidak
akan pernah Anda lihat dua kali.” Ah, kata-kata ini, apakah ada esensi lain selain pentingnya persoalan
waktu. Meski sebenarnya sangat mungkin, bagi pembaca yang jeli, justru yang
krusial dari kalimat tersebut bukan bermaksud soal waktu. Bisa mungkin nilai,
harga, dari sesuatu yang sudah terjadi namun tidak akan bisa terjadi lagi. Mirip
pertanyaan Anton Kurnia dalam tulisan “Keindahan dalam Kepedihan”, di Jawa Pos,
edisi Minggu, 4 Desember 2016, dalam kepentingannya membahas buku Han Kang, The Vegetarian, yang diterjemahkan
Deborah Smith.
Di uraian itu Anton
Kurnia bertanya, berdasarkan gagasan ketika seseorang memilih hidup sebagai
seorang vegetarian, yang kemudian hidupnya tak menyenangkan dan penuh
kekerasan: “Apakah makna hidup sesungguhnya? Apakah hakikat cinta? Mengapa
orang yang semula seperti saling jatuh cinta bisa saling melukai, bahkan
berpisah? Apakah kebahagiaan itu? Apakah hidup ini layak dipertaruhkan? Apa
yang paling berharga dalam hidup ini?” Demian Anton bertanya.
[2]
“Harapan, itu adalah inti dari khayalan manusia,
dan juga sumber kekuatan dan kelemahan terhebatmu.”
Kata-kata dalam fragmen 2
ini beberapa bulan lalu menjadi bahan diskusi sebuah komunitas sastra di
Bangkalan. Tepatnya: Pada suatu hari, seorang kawan diskusi berpendapat panjang
mengenai kalimat yang menyoal tentang harapan di atas. Ketika ia baru saja
menemukan dan mendengar kalimat itu meluncur dengan nyaman di film The Matrix Reloaded (2003).
Sebuah film digit-micro yang salah satu aktornya adalah Keanu Reeves.
Pada catatan ini, bukan
pendapatnya yang panjang yang akan diurai. Tapi justru kata pertama yang muncul
dan mendahului segala rangkaian perspektifnya atas respon terhadap kata-kata
yang diucapan seorang tokoh di film tersebut. Saat dengan khusuk kawan itu
menyaksikan, tepat ketika teks itu diucapkan, yang pertama muncul di bibirnya
adalah ungkapan “Wihh!”. Artinya, ada satu aspek kejut yang muncul dari rasa
kagum, yang tak terduga, baik berdasarkan tindakan ataupun tak butuhnya alasan.
Dan secara drastis membuka alam pikirnya menjadi sadar. Sadar akan hal apa?
Tentu kesadaran bahwa ia sudah mampu menangkap kalimat yang diucapkan oleh
tokoh Sang Arsitek Matrix di durasi 01:57:23-01:57:30 itu.
Baik tentang harapan itu sendiri, maupun arti khayal dalam sebuah pengertian
yang mungkin sebelumnya tak sengaja ia prediksi.
Intinya, 4 kata kunci
yang dipertemukan: harapan, khayal, kekuatan, dan kelemahan. Dan kata “Wihh!”
yang terlontar dari mulut seorang kawan diskusi itu bukan onomatope, melainkan
sambutan alam sadar bahwa kesadaran baru telah ia terima, telah berkembang dari
reflek. Menjadi pengakuan atas penyatuan 4 kata kunci yang mengalami pendamaian
puncak di dalam kata-kata: harapan inti khayal, harapan sumber kekuatan,
harapan sumber kelemahan. Terhebat.
Dan kawan diskusi itu
akhirnya tak berpikir lagi mengenai apa itu harapan. Sampai ia menemukan
penguat lain di film yang lain, yang juga melandaskan apa pentingnya itu
harapan. “Ingatlah, Red, harapan
adalah hal baik, Mungkin itu adalah hal yang terbaik dari semuanya. Dan harapan
tak pernah mati.” (The Shawshank Redemption, 1994).
[3]
“...
Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan bisa lagi
memandangmu,
ketika kau memandangku.”
Kata-kata di fragmen bagian
3 ini diambil dari bahasa akhir seorang pangeran di Perang Baratayuda. Yakni Karna,
putra Kunti dari Dewa Surya, sahabat Duryudana —yang, ketika ia di ujung maut, ketika
ia dalam dekap tangan sang istri, kalimat itulah yang meluncur bersama air mata
menuju peluk erat cinta yang sebentar lagi tak nyata. Kalimat, yang membuat
sang istri makin menangis saja, dan membiarkan pelupuk matanya membengkak
tiba-tiba hingga sulit sirna.
Keagungan kata-kata
memang bisa menunjukkan kebijaksanaan bagi yang mengucapkannya. Yang terbaik
dari kata-kata, adalah yang terbentuk dari sikap yang bukan dari raga. Jiwalah
yang bicara. Dan, orang yang mendengarkan akan runtuh, akan mengerti bahwa ia
sedang tidak berbohong, sedang tak membutuhkan sesuatu lagi meski itu keajaiban,
sedang pasrah meski kalah. Seperti yang terjadi pada Karna dalam persitiwa
Baratayuda.
Ketika kata-kata tersebut
lepas, saudara tertua Pandawa itu berada dalam sebuah gerangan kritis. Tak
mengerang di hadapan istri, tapi sakitnya begitu pekat, Dan memang, pada satu
batas antara ujung hidup dan pintu kematian yang terbuka lebar, ucapan kata-katanya
terdengar sungguh sangat puitis. Kata-kata yang amat berat namun menyamankan,
yang tak hendak disandingkan dengan apa pun lagi kecuali dengan satu ketetapan
yang tak bisa dihindari. Satu ketetapan sebagai bayang-bayang takdir, yakni
berpisah: pergi, yang tak kembali. Dan tak bisa melihat lagi seperti apa wajah
sang istri.
Seperti di fragmen bagian
2, yang berbicara harapan, barangkali, apa diucapkan Karna untuk istrinya juga
harapan. Tapi dalam bentuk penyelamatan. Artinya, tokoh Karna menyadari bahwa
ia tak lagi punya harapan. Ia sadar harapan untuk hidup telah sirma, maka ia
perlu menyelamatkan harapan itu, dengan setakjub-takjubnya. Dengan berkata sesejuk
mungkin, seindah-indahnya. Biar tetap terdapat harapan, di sana, di balik
kata-katanya, yang bukan untuknya.
[4]
“Saya
bukan gagal, kok. Saya telah menemukan
sepuluh
ribu cara yang tidak efektif.”
Kata-kata di fragmen
bagian 4 ini dekonstruktif. Dan membaca kalimat di atas, siapa saja rasanya
bisa mengerti maksud dari maknanya. Jelas, artinya adalah menjawab segala hal
tentang apa itu kegagalan. Tapi justru di situlah letak kejelian seorang Benjamin
Franklin meneropong celah lain, mengurai singkat sesuatu yang dianggap salah,
atau setidaknya keliru bagi pandangan umum—bahwa, pada satu jalan yang telah
ditempuh, mustahil tak ada manfaat, guna, atau keuntungan yang diperoleh
subjek. Bagi Benjamin Franklin, orang gagal, lebih diuntungkan banyak tahu
ketimbang orang yang langsung berhasil melakukan sesuatu. Untungnya, ia lebih
punya banyak kekayaan mengetahui hal-hal yang tak efektif. Dan itu penting
untuk diinformasikan kepada orang lain, sebagai kebutuhan ilmu, juga penunjang
isi pengetahuan.
Tentang pendapat Benjamin
Franklin ini, disinggung oleh Scott Thorpe di buku Berpikir Cara Einstein (2002) dengan uraian lebih terbuka. Singkatnya,
Thorpe mendesain ucapan Benjamin Franklin agar lebih mudah dicerna pembaca.
Seperti bagaimana manusia harus menciptakan solusi-solusi baru, menjadi
inspirasi yang bermanfaat, menjadi petunjuk berharga tentang aturan main dari
sesuatu, hingga tentang keidealan yang tak buru-buru mengejar kepastian. Sebab
semua, hampir bisa teramat dekat dengan gagal.
Juga paham untuk tidak
bergantung pada pendapat bahwa komponen yang esensial dari tangan manusia ialah
ibu jari, yang dapat ditekan-tekankan lebih kuasa dari yang lain, karena 65%
ukurannya tak lebih panjang dari jari telunjuk.
Benar, ibu jari memang
superior. Tapi yang lain? Bukankah dari mereka ibu jari akhirnya menjadi
superior.
[5]
“Dulu,
saat ayahku, Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah berhadapan,
yang
ada di hadapan mata mereka masing-masing adalah akhirat.
Tetapi
hari ini ketika kita berhadapan dengan muslim lainnya,
di
mata kita adalah dunia, bukan akhirat.”
Kata-kata fragmen bagian
5 ini adalah sebuah epilog dari prahara Shiffin. Sebuah perang, tentang ketangguhan
hati seorang Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perang saudara,
yang pecah, dan terasa menusuk titik haru paling relung keperkasaan dua manusia
pilihan Tuhan itu.
Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah bin Abu Sufyan, mereka orang-orang yang menawan. Perbedaan pendapat
bagi mereka adalah pendirian yang teguh, yang harus digenggam kuat-kuat dan tak
bisa dicongkel. Mereka berdua, sungguh sama-sama tak melepas kesejatian hati
hingga ke ujung terperih sekalipun. Apa yang disebut musuh bukan semata-mata
terdiri dari emosi yang buruk, meski darah harus diteteskan, ditumpahkan. Apa
yang menjadi perbedaan bukan lantas dengan mudah menumpahkan berjuta-juta
kebencian.
Ketika surat dari Kaisar
Romawi menyentuh getar tangan Muawiyah, yang hendak memanfaatkan situasi dengan
berjanji akan memberikan hadiah termegah berupa kepala Ali kepadanya dengan
tegas Muawiyah menjawab bahwa itu bukan urusan kau. Tak ada urusan bagimu untuk
sebuah persaudaraan yang tengah bertengkar. Jika kau mau, aku bisa membawakan
kepalamu ke hadapan Ali. Begitulah jawaban Muawiyah ketika ikatan persaudaraan
dengan Ali tengah diusik. Dan persitiwa lain pun semakin menadi seiring desakan
dendam yang harus dituntaskan. Hingga Ali gugur, karena terjangan badai-badai
fitnah yang kerap tiada henti berucap menudingnya sebagai dalang pengkhianatan.
Dan benar, Ali pun gugur.
Tapi itu tak
menghancurkan hati seorang putranya yang kemudian mewarisi kebijaksaannya dalam
menentukan banyak hal. Seperti ketika orang-orang muslim lainnya bertanya
kepada putra Ali itu di akhir perang saudara, mengapa menyerahkan kekuasaan
kepada Muawiyah, padahal itu seteru ayahnya.
Mendengar itu, tak ada
sedikit pun pada nada jawaban Hasan bin Ali tersentuh benci juga dendam. Apalagi
terpengaruh licik dan piciknya fitnah yang konon dianggap sebagai fitnah
pertama di dunia Islam. Putra Ali yang menawan itu pun menjawab dengan
kata-kata yang tercantum bagian atas tulisan ini: “... di mata kita adalah
dunia, bukan akhirat.”
[6]
“...kebanyakan
manusia pada akhirnya tahu,
hidup
membutuhkan metafora. Pikiran memerlukan kiasan.”
Kata-kata pada fragmen bagian
6 ini adalah tentang pentingnya berkias—metafora, atau mencari kemungkinan
lain. Goenawan Mohamad menulisnya, dan melanjutkan itu dengan menceritakan
kisah seorang lelaki Australia yang memotong tangannya sendiri lantaran salah
memahami kata-kata yang dikutipnya dari sebuah injil: “Jika tanganmu
menistakanmu, potonglah.”
Michael O’Conner nama
laki-laki yang dikisahkan oleh pendiri Tempo yang namanya sering disingkat GM.
Usianya 20 tahun dan Kristen baru ia masuki. Di dunianya yang baru itu, ia
kemudian memotong tangannya yang bertato, lantaran tangan itu dianggapnya punya
nista oleh dirinya sendiri. Tentu, setelah ia membaca pesan dari Injil, Kitab
yang tak begitu lama didekatinya, diyakininya.
Tapi benarkah itu? GM
mempernyatakan mengapa hal demikian bisa terjadi. Bukan lantaran darahnya yang
muncrat dari sekejap tangannya yang putus. Atau warga yang panik atas tragedi
“bodoh” itu. Bukan pula dengan sigapnya polisi datang menginterogasi peristiwa—mengamankan
kejadian. Melainkan, melainkan apakah demikian makna yang terpahami tentang isi
kutipan yang baru saja diperoleh seorang O’Conner dari hasil membacanya?
Mengapa ia begitu lurus memaknai sesuatu, yang justru amat salah meski pada
lapisan paling dangkal keharfiahan, perkara kata “potonglah” sangat diyakini tak
menginginkan pemotongan tangan yang begitu. Bukan itu arti perbuatannya sebagai
tafsir.
Mengapa Michael O’Conner
tak sempat bisa berpikir yang lain? Atau mungkin ia memang dilahirkan tanpa
harus tahu bahwa dalam hidup ini betapa dibutuhkan jagat semiotika, semesta
kias: connotative meaning.
[7]
“After the first death there is no other.”
Setelah
kematian pertama, tak ada lagi yang lain ....
Kata-kata di bagian
fragmen 7 ini adalah sebuah puisi. Tepatnya penggalan puisi dari seorang
penyair mabuk yang disukai oleh seorang presiden yang saleh. Penyair itu
bernama Dylan Thomas, Wales, yang berkiprah kisaran tahun 1914-1953. Dan Presiden
itu ialah Jimmy Carter, presiden Amerika Serikat ke-39 (1977-1981). Peraih
Nobel Perdamaian tahun 2002.
Mengapa bisa seorang
presiden sekelas Jimmy Carter begitu kagumnya pada puisi Dylan Thomas. Sampai-sampai,
pada suatu kesempatan, ketika sang presiden masih menjabat sebagai Gubernur di
Georgia, ia, dengan kesudian yang sengaja mengundang para senator hadir ke beberapa
pertemuan di Gedung Legislatif untuk mendengarkan rekaman suara sang penyair.
Seberapa penting puisi
Dylan Thomas itu didengar? Bisa benarkah jika ada anggapan justru setelah Jimmy
Carter menemukan dan membaca puisi penyair yang tak cukup punya nama itu,
hidupnya berbelok menjadi lebik baik. Di mana awalnya, ia hanya seorang
pengusaha kecil yang pengap oleh gelisahnya sendiri. Yang mungkin tak terbersit
dalam pikirannya bahwa suatu saat ia akan disentuh Nobel dan menjadi orang
nomor 1 di negeranya. Tak ada yang tahu pasti selain Jimmy Carter itu sendiri. Termasuk
ada alasan yang seperti apa ketika ia suka mengutip kesan keadilan dari seorang
ahli teologi Kristen, Reinhold Niebuhr yang berkata “tugas sedih politik ialah
harus membangun keadilan di dunia yang penuh dosa.”
Sekali lagi, bunyi puisi
itu adalah: “Setelah kematian pertama, tak ada lagi yang lain ....” Dan kata-kata
tersebut, bagi Carter, mungkin seperti arkeologi yang menyibak rahasia masa
datang. Meski bukan hantu yang terus mengikuti, setidaknya itu adalah ngiang
yang abadi.
[8]
...
di
mana kelak kujemput anak cucuku
menuntun
sapi berpasang-pasang
Kata-kata di fragmen bagian
8 di atas diambil dari sebuah puisi berjudul “Bulan Tertusuk Lalang”. Pada bait
kedua baris ketiga dan keempat. Baguskah kata-kata itu atau burukkah? Jika
buruk, mengapa kemudian seorang Garin Nugraha terilhami oleh puisi tersebut untuk
membuat film layar perak dengan memakai judul yang nyaris persis dengan judul
puisi yang ditulis oleh D. Zawawi Imron ini. Jika bagus sudah merindingkah kita
dalam memahaminya?
Memahami kata-kata yang
ditulis di atas, sederhananya bukan untuk meributkan apakah sajak yang ditulis
oleh penyair Sumenep yang telah senja itu bagus atau tidak. Toh ada bagian dari
pikiran manusia yang anti untuk memperdebatkan bagus tidaknya sesuatu setelah
ia memahami dan mengerti sifat-sifat seni yang dimiliki oleh setiap karya.
ada sebuah kesempatan, Seno
Gumira Ajidarma berpendapat tentang 3 mitos sastra yang harus dihancurkan,
karena membikin sastra jadi alergi. Singkatnya sastra itu curhat, bahasa
sastrawan mendayu-dayu, dan berisi petuah/pedoman hidup. Serem katanya. Lalu,
dengan dasar kutipan sajak di atas, apakah puisi penyair yang dijuluki Celurit
Emas yang juga Kiai itu termasuk dalam singgungan Seno?
Sementara realita yang
lebih konkrit hari adalah masih banyakkah ditemukan, di Madura, apa yang
dipertanyakan oleh sajak itu? Yakni pemandangan yang menyajikan sejumlah anak-anak
dengan kebahagiaan yang tengah asyik menuntun sapi-sapi mereka ke arah sungai,
ke sawah, ke batu-batu dan tanah tinggi berumput. Dan menjelang senja menggiring
mereka pulang ke kandang. Ataukah kini mereka telah menyatu dengan virus
karsinogenik yang tak terlihat, yang daya tularnya luar biasa nikmat dan
memikat?
[9]
“Saya
membaca Rabindranath setiap hari, membaca
satu
baris dari karyanya sama dengan melupakan masalah
seluruh
dunia.”
Kata-kata di fragmen bagian
9 ini adalah prolog yang ditulis oleh peraih Nobel Kesusastraan tahun 1923 asal
Irlandia, yaitu William Butler Yeath. Ia berkisah bahwa hatinya tergerak ketika
ada seseorang begitu menyanjung setiap karya yang dibuat oleh Rabindranath
Tagore. Tak terkecuali Gitanjali, sebuah
prosa cinta dan kehidupan, sebuah nyanyian persembahan.
Ada apa dengan tulisan
Tagore, sehingga membuat orang itu dapat melupakan masalah seluruh dunia. Membuat
juga seseorang seperti William Butler Yeath merasa terpengaruh, dan mengakui,
bahwa Tagore adalah seperti peradaban India sendiri, merasa puas untuk
menemukan jiwa dan menyerahkan diri sendiri dalam spontanitasnya.
Barangkali, penyampaian
itu terkesan berlebihan, namun bisa saja hal tersebut adalah iya. Mengingat,
jika seseorang sampai menggilai karya, maka hal lain akan mudah menjadi lupa.
Maka pengaruhnya akan terus membahana. Meluncur, kencang, tanpa rem. Blong.
Sebagai penutup, berikut serpihan
karya Rabindranath Tagore. Bisa dapat dijadikan bukti, apakah orang yang
diceritakan oleh William Butler Yeat, juga ia sendiri, tak terlalu mengada-ada.
Benarkah, karya penulis asal India itu mendatangkan pengaruh besar, hingga
mampu membuat seseorang dapat melupakan masalah dunia?
O
kau pemenuhan terakhir dari hidupku,
Kematianku,
Kematianku, datang dan berbisiklah
padaku!
...
Seluruh
kedirianku, milikku, harapanku,
dan
seluruh cintaku telah mengalir menuju kau
di
kedalaman rahasia.
Satu
pandangan terakhir dari matamu
dan
hidupku akan selalu kau miliki.
(Gitanjali, hlm, 87)
Rujukan:
Badiou, Alain. 2020. Sanjungan Kepada Cinta. Yogyakarta: Circa.
Idris. 1994. Munculnya Manusia. Jakarta: Balai Pustaka.
Imron, D. Zawawi. 1982. Bulan Tertusuk Lalang. Jakarta: Balai
Pustaka.
Kurnia, Anton. “Keindahan dalam Kepedihan. Jawa Pos,
Edisi Minggu, 4 Desember 2016.
Marvin, N. 1994. The Shawshank Redemption. Roger Deakins,
Amerika Serikat: Colombia Pictures. 142 mins.
Mohamad, Goenawan. 2006. Catatan Pinggir 1. Jakarta: Grafiti
Pers.
Silver, J. 2003. The Matrix Reloaded.Amerika
Serikat: Bill Pope. 138 mins.
Tagore, Rabindranath. 2018. Gitanjali Nyanyian Persembahan Prosa Cinta dan Kehidupan. Surabaya:
Ecosystem.
horpe, Scoot. 2002. Berpikir Cara
Einstein. Batam: Interaksara.
https://www.youtube.com/watch?v=koQUvUyTyc0
[i] M. Helmi, M. Pd, dikenal dengan M. Helmy Prasetya. Pendiri Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan. Dosen STKIP PGRI Bangkalan. “Tentang 9 Fragmen Kata-Kata: Apa Sebenarnya yang Dahsyat Darinya?” adalah sebuah catatan ringan untuk bahan diskusi diri tentang pentingnya susunan bahasa.
0 comments:
Posting Komentar