M. Helmi[1]
1. Harga
Ada yang bertanya,
hendak dihargai berapa sebuah karya lukis (lokal) yang akan dilibatkan pada
acara Pasar Seni Lukis Bangkalan (PSLB), 7-8 Desember 2019 nanti? Ini
pertanyaan menarik dan positif jika ditinjau dari perspektif bagaimana sebuah
wilayah seni dituntut lebih "profesional" dalam proses kerjanya.
"Dihargai berapa?" Terdengar seperti ragu memang. Artinya, pertanyaan
yang 'idealistik' itu, sedikit banyak mengajak tahu penyelenggara untuk paham
peran (kepanitiaan) bahwa, karya lukis yang masuk pilihan panitia nanti tentu
tidak main-main adanya. Karena karya lukis yang dilibatkan itu dibuat,
dilahirkan, atau diciptakan, dan kemudian disuguhkan ke hadapan
publik—sebelumnya tentu mengalami proses yang tak mudah dan butuh kerja keras.
Itulah orientasinya, sehingga titik jelas dari pertanyaan tersebut adalah
menyoal "harga" bukan karya sebagai produk seni yang dijual (ke
kolektor atau pembeli umum), melainkan "harga" ditariknya karya lukis
yang terseleksi masuk ke lingkaran pasar seni berdasarkan tahap awal. Begitulah
maksudnya.
Selaku bagian dari
panitia saya setuju dengan pandangan itu. Sebab harusnya demikian. Panitia,
menuju PSLB, sebenarnya sudah memahami rentetan ini. Meski secara umum, semua
cara, terkait proses awal PSLB kembali pada konteks keberadaan panitia itu
sendiri. Misal ada penyeleksian atau tahap kurasi atau tidak, atau yang paling
sensitif ada transaksi awal sejenis kontrak keterlibatan lukisan/pelukis dengan
sistem honorarium (karena sudah terpilih). Ada atau tidak tergantung kesepakatan
awal. Jika ada aturan main, tentu tinggal disepakati mekanismenya seperti apa
dan bagaimana.
Sah-sah saja
kesepakatan seperti apa pun yang dihasilkan. Asal kedua pihak mengerti seperti
apakah prinsip kerja pelaksanaan Pasar Seni Lukis diadakan. Dan khusus untuk
PSLB ini, keadaan apa pun, pihak mana pun yang mengenal betul gesekan seni rupa
Bangkalan akan paham apa sebenarnya yang menjadi tujuan PSLB ini
diselenggarakan. Tinggal bagaimana rencana tersebut tidak melulu diseret ke
dalam perbandingan yang tak fair. Apalagi membandingkan PSLB dengan sebuah
konsep yang katakanlah sudah semapan Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) yang
tahun kemarin dilaksanakan di Surabaya. Tentu tak mungkin, dan tidak adil
membandingkan PSLB dengan PSLI. Apanya juga yang dibandingkan. Toh seni lukis
Bangkalan secara khusus dalam target rencana PSLB, masih dalam perintisan
bagaimana membangun iklim seni lukis yang keren dan jadi maju. Terlepas di luar
itu tercatat ada nama yang sudah tak diragukan lagi kiprah dan prestasinya,
seperti yang sudah diraih Pak Maji, Mas Farid, atau Suvi Wahyudianto.
Lalu terkait besaran
"harga" nominal yang didapat oleh lukisan/pelukis yang lolos seleksi
harus sebesar apa? Di sinilah sebenarnya yang menjadi titik tak bertemu. Karena
sisi subjektif sulit dibuang dari masing-masing pribadi. Harga, yang menjadi
maksud dipatok ideal, tapi situasi tak diperkuat dengan kesadaran diri
"seperti apakah keberadaannya". Secara teknis, menyangkut karya lukis
yang nantinya dinyatakan lolos, dan layak berada di ruang publik, lebih-lebih
secara langsung seperti gelar pameran atau model pasar seni lukis, karya lukis
tersebut sudah pasti mendapat harga layak. Katakanlah bahwa panitia tak akan
meragukan kelayakan itu. Layak sebagai kiprah pengakuan ruang kerja (batin),
maupun harga kerja sebagai pencapain usaha fisik/materi sebuah produk ekspresi.
Panitia sadar bahwa tak ada penyisihan nilai yang bersifat eksploitasi. Yang
ada tetap menjunjung tinggi sebuah karya yang hendak disuguhkan. Sejauh mana
kepantasan harga yang melabelinya, saya pikir, sistem besaran harga yang
dipatok panitia adalah jalan ideal segala sisi. Karena panitia mengerti bahwa
PSLB ini hanya sebuah awal sebagai upaya membangun iklim seni lukis di
Bangkalan jadi makin serius dibicarakan. PSLB ini mengajak mencari, apakah ada
nanti generasi lukis Bangkalan yang bisa mencapai titik ideal seperti
pelukis-pelukis yang telah punya nama besar. Meski sasaran itu berangkat dari
tak adanya niatan para pelukis Bangkalan diakui punya nama besar.
2. Mental
Bagaimana sebenarnya
situasi seni lukis Bangkalan hari ini? Jika pertanyaan tersebut ditujukan pada
panitia PSLB, maka jawabannya adalah seni lukis Bangkalan telah mulai maju.
Kata maju di sini, asumsikan bukan Bangkalan tak pernah mengalami masa emas
dalam dunia perlukisan. Ada atau tidak masa emas itu, tolak ukur bahwa seni
lukis Bangkalan punya masa emas, seperti apa juga takarannya? Tapi jika
dikatakan seni lukis, atau secara umum seni rupa Bangkalan dikatakan pernah
aktif, tentu itu lebih tepat. Terutama era sebelum tahun 90-an dan beberapa
waktu sedikit setelahnya. Hal lain yang menandakan bahwa seni lukis Bangkalan
mulai maju tentu adanya PSLB itu sendiri. PSLB, sisi lain dari segala yang
sudah disampaikan pada bagian 1, bermaksud juga memberikan ruang lebih terbuka
kepada para pelukis Bangkalan untuk lebih total, (karena iklim seni rupa
[lukis] mulai bergerak maju).
Pendeknya, PSLB ini
kegiatan yang khusus memberikan ruang kepada pelaku seni lukis. Untuk pelaku
(pelukis murni). Bukan bersembunyi di balik pengalaman masing-masing yang
selalu bilang pernah ini dan pernah itu. Namun hari ini sangat sulit
menunjukkan karya yang pernah dibuatnya. Sehingga terjadi pengakuan yang
sepotong-sepotong dan tak mengenakkan. Bukan pula menjadikan PSLB sebagai ajang
pembibitan awal seperti rame-rame melukis yang tidak membatasi antara pelukis
dan bukan, sehingga konsepnya menjadi tak jelas dan selesai begitu saja.
Salah seorang pelukis
senior Bangkalan, yang tak perlu disebutkan namanya, mengakui bahwa, adanya
PSLB ini adalah pembuktian, sinyal khusus untuk para pelukis. Pembuktian kepada
para pelukis Bangkalan bahwa berkarya itu harus tidak berhenti. Jangan merasa
selesai, dan harus terus mencari sampai benar-benar tak bisa melukis lagi. Ayo
keluarkan semua karya-karya kita. Pelukis Bangkalan itu ada, dan banyak karya.
Agar menjadi inspirasi yang nyata. Ayo tradisikan itu. Begitulah.
Mendengar pengakuan
dari perupa senior Bangkalan ini, dapat diambil simpulan bahwa, situasi seni
lukis Bangkalan harus dibiasakan punya tradisi berkarya yang tak putus. Jika
perlu sampai pada tahap apresiasi yang menyentuh ruang pengetahuan. Setidaknya
mampu melewati 9 faktor yang menurut Mikke Susanto, seorang kurator seni
independen dapat menjadikan sebuah lukisan terjual dengan harga yang mahal:
(riwayat seniman, tema dan ide, kondisi karya, medium bahan, teknis/alat,
riwayat karya, ukuran, akuisisi dari kolektor sebelumnya, dan publikasi).
Sehingga dengan mudah masuk dalam agenda pameran tunggal atau ke ruang yang
lebih fleksibel seperti pasar seni. Baik di dalam kota maupun di luar kota.
Urusan diboyong kolektor biarlah perjalanan yang bicara.
Demikian pandangan
dari seorang senior perupa Bangkalan yang telah banyak mempelajari eksistensi
para perupa Bangkalan di masa perjalanannya. Bisa juga diiyakan, meski hanya
seorang. Dapat diambil sisi penting komentarnya. Sebab jika diamati,
akhir-akhir ini, di balik langkah seni lukis Bangkalan hari ini yang hendak
maju, jika mau jujur, betapa masih tertinggal beberapa sudut pandang perupa
Bangkalan kebanyakan. Status diri yang kadang menjebak pengetahuan seni terlalu
diperhitungkan berdasarkan senioritas tidak menutup sebagai penyebab. Sementara
pengetahuan seni yang terus bergerak dengan cepat tak mampu dijangkau. Terlalu
demikian yang dikalkulasi, sehingga mengurung generasi selanjutnya untuk berani
keluar, karena merasa sulit diakui secara fair oleh mereka yang merasa lebih
dahulu mengenal seni. Seperti merasa sudah setara dengan Edvard Munch, dan
melampaui apa yang sudah tercapai dalam "The Scream"nya. Di satu sisi tak tahu ikon penderitaan seperti
apa yang sudah dialami oleh pelukis asal Norewgia itu, sampai akhirnya
lukisannya terjual dengan harga $119 juta atau 1,5 triliun, dan bersemayam
dengan nyaman di Galeri Nasional Oslo. Atau dengan gampang mencemooh siapa itu
Mark Rothko yang ekspresionis abstrak, yang karyanya cuma gambar warna merah,
pink, dan biru. Dengan bentuk persegi dan diberi judul "Royal Red and Blue", yang ternyata
berhasil laku Rp339 miliar.
Kondisi di atas memang
tak menyamankan jika terus dibiarkan menggelembung. Sangat diharapkan muncul
kesadaran bahwa berkembangnya sebuah wilayah seni terletak pada keterbukaan
diri yang tak berbatas. Seiring perkembangan seni lukis yang makin liar dan
sublim, mentradisikan diskusi tentu adalah satu bentuk mental yang memperluas
cakrawala. Bukan menjadi pelaku yang antikritik dan menilai yang lain sebagai
yang buruk-buruk. Apalagi sampai ada anggapan kepada yang muda dengan sebutan
"anak kemarin sore". Sementara justru yang muda-mudalah yang mengerti
kenapa lukisan S. Sudjojono yang penuh peristiwa dan lukisan Hendra Gunawan
yang penuh perasaan sakau pernah menjadi lukisan termahal di Indonesia.
3. Sudah Seperti Apa
Kita dalam Berkarya?
"Kita besar,
karena merasa seolah di dunia ini hanya kita yang hebat. Kita kecil, setelah
menyadari betapa tak terjumlah kejadian hebat di dunia ini. Baik yang dibuat
manusia, maupun yang diciptakan Semesta."
Kalimat di atas sempat
menjadi bahan diskusi salah satu kelompok seni rupa di Bangkalan yang
pergerakannya pada tahun-tahun terakhir cukup mewarnai iklim seni rupa
Bangkalan. Hal tersebut dilakukan untuk membuang pikiran-pikiran tak bersih
yang masih melekat pada diri. Pikiran tak bersih yang dimaksud adalah menyadari
tingkat pencapain yang sulit menerima bahwa sebenarnya kita tertinggal. Kita
sebenarnya sudah jauh ditinggalkan oleh perkembangan-perkembangan seni yang tak
berkutat pada sindrom pengakuan, mindset yang tak ubahnya kita anak kecil, dan
tentu yang sangat tampak adalah "fair
feeling". Bukan ironis memang, tapi lebih pada bagaimana seni secara
umum di Bangkalan bisa dikatakan "harus" selamat dari keterbelakangan
yang melanda. Tak masalah meski kita tak mengerti mengapa sampai akhirnya
seorang Arshile Gorky memutuskan untuk melukis kematiannya dengan cara nyata,
setelah dalam perjalanan melukisnya, ia berkali-kali tertimbun duka: studionya
yang terbakar, diagnosa kanker, istrinya yang pergi, dan sebuah kecelakaan yang
membuat tangannya hilang dan tak bisa digunakan melukis lagi. Tak masalah, kita
tak mengambil hikmah dari itu, lantaran setiap individu punya cara untuk
berbuat, punya cara untuk bertekad. Bagian terpenting, mungkin yang paling
mampu terjalin, di Bangkalan, saat ini, hari ini, adalah kesadaran "Jiwa
di dunia yang hilang jiwa... Aku cemas dengan kecemasanku, aku cemas takut
kehilangan kau.. " seperti yang ditulis oleh John Canrford dalam sebuah
sajak berjudul "Huesca". Sajak yang tak ingin kehilangan orang yang
dicintainya lantaran ingin terus ada. Seperti kita, yang tak ingin kehilangan seni
yang kita cintai. Dan ingin seni selalu ada, dalam seluruh perjalanan hidup
kita.
[1] M. Helmi, M. Pd. dosen Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Bangkalan, Ketua Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan.