Rozekki*
Apresiasi
terhadap puisi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan. Satu di antara
bentuk apresiasi yang paling sering dilakukan adalah pembacaan puisi.
Sayangnya, kegiatan pembacaan itu sejauh ini terbatas pada kegiatan lomba.
Karena lomba, kadang yang lebih dikedepankan justru ke-aku-an pembaca, bukan isi
dari puisi. Puisi seolah hanya menjadi alat untuk mempertontonkan kehebatan
pembaca. Padahal, pembacalah yang seharusnya menjadi alat untuk menyampaikan muatan
puisi.
Gejala
pembacaan semacam itu menyebabkan puisi kehilangan makna. Kata-kata yang
diucapkan, meminjam bahasa Rendra, hanya menjadi suara gemalau yang kacau.
Puisi terlalu dilagu-lagukan. Ekspresi dan gestur cenderung dibuat-buat. Jika
ada kata bulan dalam puisi tangan diacungkan ke langit. Jika ada kata hati
dalam puisi tangan dirapatkan ke dada. Setiap kata seolah harus diikuti
gerakan. Dengan pembacaan seperti itu iklan obat penumbuh kumis pun bisa saja
dipuisi-puisikan. Demikian kata Rendra.
Bentuk
lain dari apresiasi terhadap puisi yang dewasa ini marak diselenggarakan adalah
musikalisasi puisi. Namun sayang, penyelenggaraannya pun masih terbatas pada
lomba dan acara “dalam rangka”. Hal itu diakui oleh M. Helmi, pelopor
musikalisasi puisi di Bangkalan, pada sela-sela pementasan musikalisasi puisi Komunitas
Masyarakat Lumpur, Minggu, 9 Februari 2014 silam.
Helmi menyampaikan kepada penonton
bahwa pementasan musikalisasi puisi yang benar-benar dikemas dalam bentuk
pertunjukan merupakan acara langka. Dalam artian, tidak setiap bulan atau
setiap minggu bisa diadakan. Oleh karena itu, ia meminta penonton benar-benar
mencermati bentuk musikalisasi yang disajikan. Sebab, bentuk musikalisasi yang
diajarkan oleh guru di sekolah (melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia atau
Seni Budaya) sering kali masih mengalami kesalahan konsepsi.
Menurut pendapat Helmi, kesalahan konsepsi
terjadi karena ada anggapan yang terlalu menyederhanakan istilah musikal: yang
penting ada musiknya. Sehingga pembacaan puisi yang diiringi petikan gitar atau
alunan musik instrumental pun akhirnya dianggap sebagai musikalisasi puisi. Padahal
konsep musikalisasi puisi yang sesungguhnya ialah puisi harus digubah menjadi
komposisi musik atau lagu yang mencerminkan muatan puisi. Mengenai apakah
keseluruhan atau sebagian teks puisi yang dilagukan hal itu tergantung pada
kreativitas penggubah. Intinya puisi harus benar-benar menjadi komposisi musik
atau lagu. Puisi menjadi nyanyi.
Dalam pementasan yang dihelat di Aula
MAN Bangkalan itu, Komunitas Masyarakat Lumpur menampilkan beberapa komposisi musikalisasi
puisi karya dari penyair-penyair kenamaan seperti Sutardji Calzoum Bachri,
Hartoyo Andang Djaya, Sitor Situmorang, dan D. Zawawi Imron. Karya-karya yang
ditampilkan merupakan komposisi yang pernah diikutsertakan dan menjadi juara
dalam lomba musikalisasi puisi jenjang SMA tingkat Jawa Timur dan Nasional.
Pertunjujukan dibuka dengan
komposisi “Perempuan-Perempuan Perkasa” karya Hartoyo Andang Djaya yang
diaransemen oleh Muzammil Frasdia. Komposisi ini merupakan lima karya terbaik
tingkat nasional dalam lomba musikalisasi puisi pada akhir 2013 di Solo mewakili Provinsi Jawa Timur. Komposisi ini
sangat pas dijadikan sebagai tampilan pembuka. Iramanya yang rancak dengan
hentakan dram dan bongo yang cukup dominan menjadikan komposisi ini memiliki
nilai beda dengan komposisi-komposisi musikalisasi puisi pada ummumnya yang
bernada sendu dan melankolis.
Secara keseluruhan pertunjukan yang
disajikan Komunitas Masyarakat Lumpur mampu menyuguhkan tatanan dan tuntunan
dalam memusikalisasi puisi sekaligus memberikan tontonan yang menarik dan
menghibur. Namun untuk ukuran keberhasilan ada dua indikator yang perlu
diperhatikan. Jika yang dijadikan indikator hanya ruang pertunjukan, maka
secara kualitas maupun kuantitas bisa dikatakan berhasil, sangat apresiatif.
Akan tetapi, jika yang dijadikan indikator adalah ruang di luar ruang
pertunjukan, maka keberhasilan yang diperoleh baru sebatas berhasil memberi
harapan bagi pertumbuhan dan perkembangan musikalisasi puisi di tingkat
regional maupun nasional.
Ungkapan “acara langka” yang
disampaikan Helmi mengindikasikan musikalisasi puisi belum dikenal masyarakat.
Musikalisasi puisi belum bisa benar-benar menjadi nyanyi, seperti
nyanyian-nyanyian populer yang bisa didendangkan kapan saja. Padahal kalau
menilik sejarah, ada beberapa musikalisasi puisi yang sebenarnya benar-benar
sudah menjadi nyanyi. Salah satunya, “Sajadah Panjang” karya Taufik Ismail yang
dinyanyikan oleh Bimbo.
Ungkapan “acara langka” itu memang
demikian faktanya, meski bagi Helmi akan terasa sebagai kutukan. Sudah hampir
sepuluh tahun pertunjukan musikalisasi di Aula MAN Bangkalan itu berlalu. Baru
pada tahun 2023 ini Komunitas Masyarakat Lumpur akan menyelenggarakan kembali.
Sebenarnya setiap tahun, pada setiap Festival Puisi Bangkalan, musikalisasi
puisi selalu dihadirkan, tapi bukan sebagai pertunjukan tunggal.
Kata Helmi, pertunjukan musikalisasi
puisi kali ini akan dikemas lebih menantang. Dengan tajuk “Ghun-Tèngghun:
Konser Musikalisasi Puisi Multi Genre” pertunjukan musikalisasi puisi ini jelas
menjanjikan sesuatu yang berbeda. Seperti apakah puisi jika dinyanyikan dalam
genre musik rock atau dangdut? Dengan dukungan teknologi dan media yang lebih
canggih dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, bisakah puisi dalam
“Ghun-Tèngghun” menjadi nyanyi bukan sekadar di atas panggung, tapi juga di
luar panggung? Temukan jawabannya September nanti, dan hari-hari setelah itu.
*Rozekki, lahir di
Bangkalan, 22 Desember 1983. Mengajar di STKIP PGRI Bangkalan, pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar