M. Helmi, M. Pd*
(1)
Sebagai bahan pertimbangan, perlu diketahui bahwa pada awal tahun 2003 hingga 2004 awal, sebentuk kegiatan seni yang mengarah pada konsep pelestarian budaya Madura rajin diselenggarakan para pelaku seni di bawah naungan Komunitas Tera’ Bulân. Beragam tampilan dengan bentuk sajian dipentaskan secara bergantian. Melalui ragam seni pertunjukan tradisi seperti tu-tuk, tari-tarian, ronjengan, hadrah-jidor, lagu-lagu Madura dan semacamnya. Dan jika hendak jujur, hasilnya tak dapat dipungkiri secara tidak langsung merangsang keinginan masyarakat untuk lebih mengetahui bentuk budaya apa saja yang ada di sekitar mereka. Sehingga dari rutinitas itu, lambat laun iklim seni yang sebenarnya begitu sulit tumbuh di Bangkalan mulai terwujud, dikenal, dan akhirnya punya warna. Gaungnya, apa yang menjadi agenda Komunitas Tera’ Bulân pada masa itu, nuansanya terdengar hingga sampai keluar daerah.
Namun, ada perspektif lain yang
pantas untuk dikoreksi atas sepak terjang Komunitas Tera’ Bulân
tersebut—yaitu adalah apa yang dilakukan oleh Komunitas Tera’ Bulân hampir
setiap bulan (purnama) di atas, boleh jadi kurang memiliki pengaruh besar
terhadap situasi budaya yang sifatnya berkepanjangan sebagai pembentuk praksis kesadaran.
Alih-alih rutinitas tersebut akhirnya hilang dan tergeser lagi oleh adanya
sebentuk peradaban miring, yang tanpa logika pun menjauhkan jati diri dari realitas budaya yang benar. Jati
diri yang diakui oleh masyarakat luar sebagai sebuah wilayah yang memiliki
kekayaan budaya luar biasa.
Apa sebenarnya yang terjadi? Ada
banyak faktor yang mengakibat masalah demikian. Misalnya di
satu sisi vitalitas kerja kebudayaan para pelaku seni dalam mengemas acara cenderung
inferior dan nihilistik, dan itu disebabkan banyaknya batasan ruang gerak yang
amat jauh dari konsep-konsep posmo yang seharusnya sejak kala itu digalakkan.
Selain itu minimnya kesadaran kolektif pada hampir setiap bagian pelaksana
budaya yang salah kaprah memahami bahwa kerja kebudayaan merupakan sebuah
urusan yang tak hanya bisa digerakkan bermodal tenaga dan upaya. Sekalipun ditopang pemikiran
atau konsep yang brilian, hal tersebut sungguh tak cukup tanpa adanya suntikan
materi (baik pendanaan dan fasilitas-fasilitas terkait kegiatannya). Dan hal semacam itu, tidak
bisa dibiarkan begitu saja ada. Perlu adanya pertanggungjawaban sikap pada
segala lapisan masyarakat, terutama oleh timbal balik peranan antara para
pelaku seni dengan pengatur kebijakan. Dalam hal ini instansi-instansi yang
menaungi kebudayaan melangsungkan kerja budaya yang nyaman, khususnya dengan
secara langsung memfungsikan peran-peran pelaku seni, baik yang terstruktur,
maupun yang postrukturalistik.
(2)
Berbicara lokal genius para pelaku
seni, khususnya Bangkalan, tidak riskan apabila kita menyebuat bahwa yang telah
ada merupakan talenta-talenta yang “masih” pantas dipertanyakan kualitas karyanya. Wajar adanya, apalagi
ditinjau berdasarkan aspek kritis demi kemajuan bersama. Mengingat, keberadaan
dan kiprah-kiprahnya didominasi oleh kemasan karya yang tendesinya hanya dalam
rangka dan sesaat, meski beberapa kali Bangkalan tercatat dalam berbagai bidang
seni mampu mengukir prestasi, baik Jawa Timur, nasional, bahkan internasional.
Hal tersebut bukan merupakan jaminan mutlak. Oleh sebab itu, tak salah kiranya apabila terkait
konsep kesenian yang arahnya lebih serius (original
art)—di luar latar belakang kosmologinya, terlalu sedikit di Bangkalan (untuk
dikatakan) sebagai daerah yang melahirkan karya yang pantas dibilang berkualitas
tinggi. Bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari jumlahnya.
Memang ada segelintir sanggar atau
kelompok seni di Bangkalan yang pelaku seni di dalamnya beberapa kali ambil
bagian dalam percaturan seni yang memang murni untuk seni itu sendiri, lepas
dari kepentingan apa pun yang disebut dalam rangka, baik sifatnya perorangan
maupun komunal. Misalnya perhelatan
teater di Taman Ismail Marzuqi di Jakarta, Festival Seni Surabaya di Surabaya, Cak Durasim, atau bahkan ajang sastra bertaraf
nasional. Dan tentu, jika diakui dengan jujur, proses seni seperti itulah yang
membentuk kecerdasan pelaku seni dalam mengkonstruksi atau bahkan mendekonstruksi
karya-karya yang dibuat semakin diakui sebagai bagian yang layak dan penting
untuk dimasukkan ke dalam ranah kekayaan budaya.
Kenyataan yang terpampang di
Bangkalan justru jauh dari pemahanan demikian. Baik dari sudut pandang kearifan
lokal, maupun universal. Malah sebaliknya, progresifitas tersebut pun disikapi
sebagai sesuatu yang tidak layak diapresiasi, tidak dianggap penting, bahkan
terang-terangan dikatakan tidak menguntungkan. Diperparah lagi dengan adanya segelintir
pengakuan dari para pelaku seni itu sendiri yang menilai bahwa mereka sudah
melakukan apa yang disebut dengan kerja kebudayaan. Namun ironis ketika ditanya
seperti apa konsep kebudayaannya, jawabnya: “Ya, saya tidak tahu. Pokoknya
itu!”
Amat pantas kiranya jika selanjutnya
ada pertanyaan apakah pelaku-pelaku seni di Bangkalan paradigma seninya hanya
sebatas dalam rangka saja. Sangat tidak berlebihan memang. Bahkan jika ditarik
simpulan, justru dari pertanyaan yang boleh jadi dianggap kontroversi inilah
para pelaku seni mau membuka diri untuk menjadikannya tantangan menuju
pembuktian menempatkan seni ke tatanan yang lebih serius. Sebab di satu sisi
paling inti, kreativitas intuitif yang dimiliki, setidaknya oleh pelaku seni diharap
tidak mengenyampingkan pentingnya unsur keseriusan dalam menjalani aktivitas
seninya. Seperti misal sanggar-sanggar yang ada di Bangkalan lebih berani menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan ala Komunitas Tera’ Bulân meski dalam ruang lingkup
yang lebih kecil dan sederhana. Setidaknya, dari usaha tersebut, akan lahir
organisme baru untuk merubah nasib kesenian di Bangkalan menjadi sesuatu yang nantinya
layak dikatakan kosmopolit.
(3)
Sebagai akhir, perlu diakui memang,
secara sadar bahwa Bangkalan bukan Bali, bukan Yogyakarta, bukan Banyuwangi,
bukan tanah Sumatra yang telah punya kekuatan budaya. Bahkan daerah-daerah itu tidak
hanya pantas disebut sebagai wilayah budaya yang adi luhung saja, tetapi juga
sangat pantas disebut wilayah budaya yang adi daya. Tapi sekali lagi, dialektika
kita tidak bisa memungkiri adanya satu hal ketika kita semua membicarakan
Bangkalan sebagai lanskap budaya Madura. Dengan hati yang jujur, Bangkalan
dalam Madura merupakan suatu wilayah yang amat digjaya esensi budayanya. Dan
ini menjadi tugas kita melestarikannya, untuk dipertanggungjawabkan.
* Pimpinan
Ketua Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan, Dosen
STKIP PGRI Bangkalan
0 comments:
Posting Komentar