Bermula dari Mancing Sastra ke-38 bertema 19 tahun perjalanan
Sastra Komunitas Masyarakat Lumpur. Acara sederhana yang diadakan untuk
memperingati kelahiran komunitas ini 19 tahun silam. Saya dan Roz menjadi
pembicara. Seperti acara semi formal lainnya, tak ada yang terlalu menarik.
Kajian tentang sastra bukan sesuatu yang urgen. Sastra memang tidak berkaitan
dengan kebutuhan dasar manusia. Yah, mungkin saya hanya terjebak oleh bidang ilmu
yang saya geluti. Mungkin. Mungkin juga tidak. Entahlah.
Sepeti biasa peserta yang hadir terutama komunitas seni di
Bangkalan. Selain itu, beberapa orang mahasiswa yang hadir dan itu-itu saja.
Singkatnya tidak ada yang menarik dari itu. Mungkin tidak semua menjemukan.
Tapi persentasenya kecil. Salah satunya saat Roz membaca puisi Pak Helmi
berjudul “Halbia”. Mungkin bukan puisi yang terbaik dari Antologi Cinta[1]
yang ditulis Pak M. Helmy Prasetya. Namun puisi ini berkaitan dengan sebagian
cerita dalam hidup saya. Berikut puisi tersebut.
Halbia
1/ Itu hal biasa
dan semua orang menyebutnya dosa.
ada laki-laki, bulu burung rowo, hitam semut
dan kipas angin yang sudah lama pangsiun[2]
membersihkan al-qur’an. Barangkali listriknya
mati dan hanya ada satu di tasmu
2/ aku tidak boleh pulang malam,
lantaran aku kebanyakan minum dering hand phone.
tetapi soremu terlalu lama untuk ditunggu, jadi
lebih baik aku berdosa
3/ ceritanya begini: teman kita ada yang jual
genting
tapi harganya sangat murah, hanya sebuah
senyuman. yang beli katanya adalah rasa lapar dan
pegawai sipil yang nyasar
4/ lalu kenapa kamu tidak sembahyang ?
jangan bilang apes!
dan lihat disana, ada toilet bukan ! jadi buang
saja dosa-dosamu ke sana. selesaikan !
5/ musolla-kampus stkip pgri bangkalan
30 oktober 2003. di bawah langit yang sedih
kita jadi terlentang.
6/ (helmy, mohry, makky, ruzakky, dan zainy)
merekapun
tampak semakin tua
Terus terang saya sudah lupa maksud puisi itu. Kecuali beberapa
perca dari fragmen tersebut. Selain itu, karena bukan penulis puisi, tentu saja
posisi saya sebagai penafsir. Fragmen 1/ sepertinya berbicara tentang ruang. Ruang
tersebut adalah musala STKIP PGRI Bangkalan. Tapi bukan musala yang sekarang. Entah
kapan musala itu dibongkar. Yang jelas saat awal mengajar 2010-an musala
tersebut masih ada. Ruang itu terisi “laki-laki” yaitu kami berlima, “bulu
burung rowo”, dan “hitam semut”. “Bulu burung rowo” adalah gurauan tentang
kemucing yang bulunya hampir habis. Kebetulan saat itu sedang trend lagu “Cucak
Rowo” dari Didi Kempot. Sedangkan “hitam semut” adalah kondisi musala yang
kotor karena jarang dibersihkan dan banyak semut hitam. Di dinding ada sebuah “kipas
angin yang sudah lama pangsiun” atau sudah rusak. Kipas angin mati
tersebut seolah-olah “membersihkan al-qur’an.” yang berada di rak di bawah
kipas tersebut. Yah, sebuah kitab suci yang berdebu sebab jarang dibaca.
Fragmen 2/ ada “aku tidak boleh pulang malam, lantaran aku
kebanyakan minum dering hand phone.” Yang tidak boleh pulang malam tentu Helmy
penulis puisi ini. Dia satu-satunya di antara kami berlima yang sudah menikah
pada waktu itu. Tentu punya tanggung jawab keluarga. Sedangkan empat yang lain
biasa pulang sampai pukul sembilan malam. Kami mahasiswa yang aktif sebagai
pengurus BEM.
Fragmen 3/ berisi suasana. “Rasa lapar” pada fragmen tersebut mewakili
waktu puasa. Dan kami mengisinya dengan ngobrol untuk mengalihkan pikiran dari
rasa lapar tersebut. Saat itu ada “pegawai sipil yang nyasar”. Perempuan berpakaian
PNS mondar-mandir seperti mencari seseorang di kantor BAAK yang tutup. Kantor ini
buka sore. Dia asik dengan kebingungannya. Tidak mencoba untuk bertanya
meskipun ia melihat ada kami di sana.
Fragmen 4/ saya lupa tentang apa.
Framen 5/ menegaskan tempat dan waktu. “30 oktober 2003” bertepatan
dengan tanggal 4 Ramadhan 1424. Seingat saya itu menjelang acara BEM. Buka puasa
bersama. Mungkin juga bukan.
Fragmen 6/ menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam fragmen
tersebut. Mereka adalah “helmy, mohry, makky, ruzakky, dan zainy”. Huruf y pada
akhir nama merupakan gurauan waktu itu. Zainy, adik Helmy, sebenarnya dipanggil
Husai. Lengkapnya Huzaini. Diganti zainy demi melekatkan huruf y. Gurauan ini
merupakan hal biasa bagi kami waktu itu. Helmy menyingkatnya menjadi halbia
seperti pada judul dengan membuang sa.
Yang terpenting dari semuanya, fragmen-fragmen ini seperti menjadi salah
satu catatan sejarah hidup kami. Tanpa puisi ini, mungkin kami sudah lupa. Memori
ini mungkin akan tenggelam ke ceruk terdalam lautan ingatan. Ada 19 tahun jeda
antara peristiwa tersebut dengan saat ini. Yah, peristiwa biasa yang mudah
terlupa tetapi menjadi luar biasa karena menjadi ingatan menambah waskita
ketika merefleksi diri. Jadi, puisi yang tidak bisa kita uangkan ini, ternyata
menjadi berharga, seperti uang kertas 100 rupiah dulu emisi 1992 yang kini
berharga puluhan ribu sampai jutaan karena telah menjadi barang antik.
[2] Kata lama bahasa Madura yang sinonim dengan pensiun
Tulisan yang renyah, Pak. Sehat selalu untuk Pak Muhri
BalasHapus