Muhri
Sebenarnya saya tidak ingin bicara pada waktu itu. Sengaja saya bawa buku tulis dan pinjam bolpen untuk menulis kosa kata kamus saja sembari mendengarkan. Sekedar melakukan darma sebagai supporter kesenian di Bangkalan.
Cerita ini
dimulai dengan flyer yang terbang di akun Facebook resmi Komunitas Masyarakat
Lumpur. Mancing Sastra #37. Dua hari kemudian, tiga hari sebelum hari H, sebuah
undangan berformat pdf meluncur melalui nomor WA. Resmi dengan kepala surat
KML. Sebenarnya, saya tetap akan hadir meski tanpa undangan resmi. Bagi saya,
selama kegiatan seni tersebut terbuka untuk umum dan tidak ada kegiatan rutin dan
/ atau wajib, saya sempatkan untuk hadir.
Sabtu, sehari
sebelum hari H, dalam perjalanan ke Stairua, Sreseh, Sampang, saya bertanya
pada Roz, “Acara besok itu jam berapa?”. Dalam bahasa Madura.
“Jam 10.”
“Tepat waktu?”
“Mungkin tidak.
Paling sekitar pukul 11 mulai.” Sambil tersenyum.
Keesokan harinya,
Minggu tanggal 26 Januari 2023, saya berangkat dari rumah pukul 9.30-an. Sampai
di tempat acara, Kafe Alas Bhumeh, beberapa menit sebelum pukul 10. Masih sepi.
Seingatku ada tiga orang: Rendra (Rendra Sakbana Kusuma, pembicara, dosen PGSD STKIP
PGRI Bangkalan), Helmi (tuan rumah KML), dan Roz (juga tuan rumah). Setelah lajhu[*],
saya tahu dari mereka bahwa Rendra datang pukul 9.30. Dengan senyum Roz
berkata, “belum terbiasa dengan kebiasaan ML.”
Acara dimulai
pukul kira-kira pukul 11. Dimulai dengan pemaparan dari pemancing, sebutan
untuk pembicara mancing sastra. Setelah beberapa menit pemaparan, dilajutkan
dengan model tanya jawab antara pembicara dengan moderator. Sesi ini lumayan
membosankan karena terkesan monoton dan lama. Sesi selanjutnya, seperti biasa,
tanya-jawab pemateri dan audien.
Audien yang
hadir dalam acara ini sebagian besar adalah mahasiswa STKIP PGRI Bangkalan dari
beberapa program studi. Terbanyak dari program studi PBSI (Bahasa Indonesia) dan
PGSD. Hadir juga pada acara tersebut beberapa seniman dan pemerhati seni Bangkalan.
Pak Chairul, Pak Syahrul Hanafi, Abdul Halim, Anwar Sadat, Muzammil, Buyung Pambudi,
dan Jaya adalah sebagian seniman yang saya ingat hadir pada acara ini.
Sesi tanya
jawab berlangsung lancar dan tenang. Pada mulanya. Sampai Joko Sucipto bicara
dan mengajukan pendapat. Entah bagaimana redaksinya. Intinya, Joko tidak
menemukan ke-Madura-an dalam “Tatak bân totok.[†]” Peribahasa
yang disampaikan dalam diskusi ini. Dengan argumen yang cukup panjang dia
meminta pendapat saya tentang aspek ke-Madura-an dalam peribahasa ini.
Pilihan untuk
diam dan menjadi pendengar setia, saya batalkan ketika Roz memberikan mik kepada
saya setelah Joko bicara. Saya memulai dengan pernyataan bahwa tidak ada yang
asli Madura. Menurut saya Madura merupakan subkultur Jawa yang karena
kekhususannya yang mencolok kemudian dianggap mandiri lepas dari kultur Jawa. Kesenian
Madura hampir semua merupakan modifikasi dari kesenian Jawa.
Dalam hal
kebahasaan, sebagian besar bahasa Madura merupakan adaptasi dari bahasa Jawa selain
juga bahasa Melayu. Bahkan sebagian peribahasa Madura merupakan adaptasi dari
bahasa Jawa dan Melayu. Peribahasa “Ètèmbhâng potè mata, ango’an apotèa
tolang.[‡]”,
misalnya, ternyata memiliki padanan dalam peribahasa melayu, yaitu “Biar berputih
tulang, jangan berputih mata”. Variasi dari peribahasa ini adalah “Lebih baik berputih
tulang daripada berputih mata.” Maksud dari tiga peribahasa tersebut ternyata
sama, yaitu lebih baik mati daripada menanggung malu.
Demikian juga
dengan “Tatak bân totok.” Peribahasa ini ternyata modifikasi dari
peribahasa Jawa “Tatag, teteg, lan tutug.” Bedanya tidak ada kata teteg ‘teguh’
dalam peribahasa Madura. Tatag ternyata berarti bertindak tanpa
kekhawatiran karena yakin. Orang Madura mereduksi menjadi berani. Cenderung seperti
ungkapan Joko dengan kata bonek atau bandha nèkad. Seperti juga
peribahasa sebelumnya yang di Madura dimanifestasi dengan keberanian untuk
bertarung berbunuh-bunuhan untuk membela martabat yang disebut carok. Wallahu a’lam
bissawab.
Cora' lo' patè totok pembahasannya.
BalasHapusTerima kasih atas komentar Anda.
HapusUntuk meningkatkan produktifitas masyarakat Madura barangkali pribahasa ini sangat pragmatik
BalasHapusMungkin juga sebagai pelecut semangat.
Hapus