Rozekki[1]
Kearifan
tidak perlu dinyatakan sebagai kearifan. Ada banyak cara bisa dilakukan agar
kearifan tidak nampak kaku dan terkesan arogan. Para leluhur kita begitu pandai
melakukan hal itu. Mereka mampu mengemas kearifan dalam berbagai bungkus. Nilai-nilai
kehidupan atau kearifan lokal bahkan bisa muncul dalam bungkus olok-olok dan
kisah lucu.
Orang madura itu lucu, lugu, jujur, terbuka, lugas, terus terang, apa adanya. Demikian sebagian pernyataan yang disampaikan Emha Ainun Nadjib, budayawan kondang asal Jombang, melalui tulisan yang terkumpul dalam buku bertajuk Folklore Madura. Ada banyak anekdot yang menggambarkan kelucuan, keluguan, kejujuran, keterbukaan, kelugasan, dan keterusterangan orang Madura.
Dikisahkan ada pengendara sepeda motor yang marah pada polisi gara-gara mempermasalahkan SIM pinjaman yang ia bawa, “Bapak ini gimana, wong orang yang dipinjami SIM dak masalah, kok malah Bapak yang masalah!”. Ada juga kisah seorang tukang becak yang digoblok-gobloki polisi gara-gara menerobos lampu merah yang, dengan enteng mengatakan “Kalau pinter, saya jadi polisi Pak, dak jadi tukang becak!”.
Sepintas kisah di atas nampak memperolok. Namun, kalau mau dipahami dari sisi yang berbeda, justru kecerdasan alamiah si pengendara sepeda motor dan si tukang becaklah yang harus dikedepankan. Tidak mudah memunculkan jawaban spontan dan mengena semacam itu, butuh kepekaan dan perangkat logika luar biasa untuk menghadirkannya. Selain itu, harus disadari, anekdot muncul tidak murni sebagai kisah. Seperti sebuah dongeng, kisah dalam anekdot lebih berfungsi sebagai alat penyampai pesan yang harus dilihat dari berbagai sudut pandang.
Sebagai bahan renungan simaklah kisah berikut ini.
Konon,
seorang prajurit Madura dipanggil dan diperintahkan oleh komandannya untuk
mengukur tinggi tiang bendera yang tergeletak di lapangan untuk memastikan
panjang tali yang harus dibeli. Sang prajurit Madura memberi hormat dan
membalikkan badan dengan sigap. Tanpa banyak tanya ia langsung menerjemahkan
perintah komandannya. Dengan sepenuh tenaga ia mengangkat dan memancangkan
tiang itu, kemudian dengan tangkas memanjat dan mulai mengukur dari pangkal ke puncaknya.
Setelah selesai mengukur, ia kembali mengangkat dan merebahkan tiang itu. Dari
jendela ruangan sang komandan terheran-heran dan hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala.
Prajurit
Madura segera menghadap dan melaporkan hasil ukurannya pada komandan.
“Lapor,
Dan! Perintah telah dilaksanakan. Tinggi tiang lima meter tiga jengkal.”
Komandan
menatapnya dengan wajah bingung bercampur penasaran.
“Kamu
ini keblinger, sinting, atau kelewat bodoh, sih. Untuk apa masih repot-repot
menegakkan, memanjat, kemudian merebahkan tiang itu kembali. Bukankah tiang itu
bisa kamu ukur ketika terlentang di tanah. Lebih mudah dan lebih cepat!”
Prajurit
Madura agak tersinggung mendengar kata-kata komandannya.
“Komandan
ini gimana, sih! Kalau diukur waktu terlentang di tanah ya panjangnya, bukan
tingginya, Dan!”
“Tapi
hasilnya sama saja toh!”
“Ya,
dak bisa, Dan! Tinggi, ya di atas!” prajurit Madura bersikukuh.
“Apa
katamu sajalah!” tukas sang komandan jengkel. “Berdebat dengan prajurit macam
kamu tidak akan ada selesainya. Kamu beli saja talinya. Hari ini juga tiang
bendera itu harus sudah siap digunakan. Terserah mau kamu pasang dengan cara
apa!”
Prajurit Madura memberi hormat lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia melenggang dengan mantap meninggalkan ruangan komandannya. Namun, sebelum langkah kakinya melewati pintu tiba-tiba ia membalikkan badan dan mengarahkan pandangan pada sang komandan. Sambil sedikit tersenyum dan menggaruk kepala ia berujar, “Maaf, Dan, satu meternya dua ribu limaratus!”
Sang komandan mendongak, menghela nafas, tertunduk, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Demikianlah kisah itu berakhir.
Jika dilihat dari rangkaian peristiwanya semata, kisah itu tidak jauh berberda dengan kisah pengendara sepeda motor dan tukang becak di atas, yang nampak hanyalah kebodohan dan kedunguan. Padahal, kalau diperhatikan dengan cermat, tindakan yang dilakukan prajurit Madura sebenarnya bukan perkara remeh. Ia memahami hakikat dan menawarkan falsafah kehidupan dalam bentuk tindakan.
“Tinggi itu di atas”. Semua orang tentu saja tahu. Namun, kebanyakan pengetahuan itu hanya sebatas konsep, tidak maujud dalam keseharian. Hal itu disadari oleh prajurit Madura. oleh sebab itulah, ia memaujudkannya dalam bentuk tindakan. Memanjat tiang bendera mungkin tindakan “gila” tapi sama sekali bukan kebodohan. Ada dua hal menakjubkan yang hendak ia tunjukkun.
Pertama, memanjat tiang berarti memperjelas adanya posisi atas dan bawah, hakikat adanya ketinggian. Hanya dengan mencapai puncak tianglah ketinggian dapat benar-benar dirasakan. Memanjat berarti mengarahkan pandangan ke atas, dan mencapai puncak tiang berarti sampai pada batas tujuan. Tak ada lagi yang harus dituju selain menengok kembali kebawah, ke tampat asal pemberangkatan, tempat segala sesuatu bermula. Itulah hakikat tinggi yang seharusnya dilihat dari tindakan prajurit Madura. Untuk menjadi tinggi seseorang harus mencapai puncak, untuk mencapai puncak ia harus memanjat, dan dapat dikatakan mencapai puncak jika ia tak dapat lagi mendongak. Jadi, tinggi adalah menundukkan kepala, bukan sebaliknya.
Yang kedua, mengukur tinggi bukan berarti berapa digit angka yang dapat dihitung. Mengukur tinggi juga bukan berarti berapa menit jarak tempuh. Mengukur tinggi adalah mengukur nyali.
[1]Rozekki, lahir di
Bangkalan 22 Desember 1983. Aktif berkesenian barsama Komunitas Masyarakat
Lumpur. Menulis puisi, prosa dan drama. Puisi-puisinya terkumpul dalam sejumlah
antologi bersama dan sebuah antologi tunggal, Sangkolan (Basabasi,
2018). Selain aktif dalam kesenian, aktif juga dalam dunia pendidikan: mengajar
di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP PGRI Bangkalan. Alamat
yang bisa dikunjungi: Jl. K. Lemah Duwur VI/27B Pejagan Bangkalan 69112, roz.ekki.sastra@gmail.com, atau bisa
dihubungi via WA 087768196055
0 comments:
Posting Komentar