M. Helmi Prasetya[1]
/1/
Dalam sebuah pengantar buku Woman and Social
Injustice karya Mahatma Gandhi dan diterjemahkan oleh Siti Farida, Rajkumari Amrit Kaur, seorang pejuang pergerakan
wanita dari India menyebut bahwa, “Kaum perempuan adalah
perwujudan dari pengorbanan dan penderitaan.” Kalimat yang mendapat
pertentangan tersebut sebenarnya suara Gandhi yang diulangnya sebagai penegasan
mengenai kedudukan perempuan di mata Gandhi. Kontroversi memang, setidaknya ada
aroma ke arah sana. Karena mengundang perspektif yang dianggap merendahkan
perempuan, meski sebenarnya yang dimaksudkan Gandhi dalam tulisan itu, adalah
sisi kemuliaan, sisi peran yang ditujukan bahwa sebenarnya—karena pengorbanan
dan penderitaan itu, perempuan harus mendapat kedudukan dengan
selayak-layaknya, sehormat-hormatnya.
Lantas apa hubungannya dengan novel berjudul Di
Balik Tirai Malaya yang ditulis seorang pekerja migran Indonesia di
Malaysia bernama pendek Zai? Tentu berhubungan: mendasar dan searah. Lantaran
novel bersampul seorang perempuan berjilbab yang tengah memandang menara kembar
Petronas itu di dalamnya berisi kisah-kisah yang hampir sepenuhnya adalah
pengorbanan dan penderitaan seorang perempuan. Jelasnya, novel bertebal 247
halaman tersebut sangat bisa memberi jawaban nyata dari apa yang menjadi
perdebatan mengenai kedudukan perempuan selama ini —baik di suatu situasi, suatu
keadaan, maupun pada banyak keberadaan. Novel yang terdiri atas 30 judul cerita
tersebut benar-benar membutikan bahwa apa yang disampaikan Gandhi barangkali
nyaris 100% benar.
Sebut saja betapa menderitanya Inna (tokoh utama
bernama lengkap Innara Izzatunnisa). Di usianya yang belia, ia harus mengorbankan
banyak hal untuk berhadapan dengan pilihan-pilihan sulit hanya karena
berkeyakinan cita-citanya akan terjawab. Pilihan yang menekat harus bekerja ke
Malaysia, terjebak di rumah pelacuran, ditampar siksa dan diperkosa majikan, ditipu
familinya sendiri, ditimpali hutang sana sini, diburu kepolisian dan pengadilan
Malaysia, dan lain sebagainya—adalah sebuah perjalanan yang amat memuramkan.
Bahkan hingga akhir kisah, harus kehilangan suami yang berhasil ia lalui dengan
bersusah payah agar bisa mencintai. Walau cintanya di dalam cangkir yang
sejati, berhasil ia dapatkan kembali.
Apa yang terjadi pada Inna selama di perantauan, pada
banyak sisi seakan menjelaskan sesuatu yang pernah ditulis oleh Rabindranat
Tagore dalam buku prosa cintanya, Gitanjali, yang berbunyi “Ibu, aku
akan mengayam sebuah rantai mutiara untuk lehermu dengan penderitaanku.” Demikian
Tagore menulis, dan demikian juga tokoh Inna beraksi dalam penderitaan yang tak
habis-habis menyeretnya. Inna, dalam perannya, pada bagian yang ingin lurus,
begitu sering teringat kepada sosok ibu, yang tentu, dalam segala aspek
kehidupan, (ibu) adalah puncak tersakral dari segala doa. Barangkali apa yang
terjadi pada Inna akan mirip seperti kejadian di dalam teks Tagore jika
diadegankan.
/2/
Katakanlah sekilas, demikianlah yang tersaji di
dalam novel yang ditulis oleh perempuan asal Dusun Rabasan, Duwak Buter,
Kwanyar, Bangkalan itu. Membacanya, saya akui ketegangan dan rasa asyik menjadi
satu. Kesal tentu. Dan senyum-senyum sendiri apalagi—tak terhindarkan. Tapi betapa
runut dan mengalir indah sebagai sebuah cerita yang memang tak punya
kepentingan apa-apa selain “seolah-olah” hanya ingin berbagi alaman penulis tentang
hal-hal khusus dalam hidupnya selama di negeri orang. Memberi impresi penting. Maksudnya
aspek original yang terpancar dari novel ini amat patut diakui seperti
menawarkan revelasi yang mungkin amat kita butuhkan di masa sekarang. Untuk membentuk
sekeping pandangan, cikal berpikir, bekal keinginan, memutuskan sesuatu, atau
sebagai pembuka ruang bagi segala waham agar bisa diluruskan. Terutama bagi
perempuan Madura itu sendiri, yang mungkin nasib hidupnya hendak dimulai dengan
pergi merantau seperti yang dilakukan oleh tokoh Innara.
Kultur Madura serupa life style atas dasar
tatanan ekonomi “masyarakat dalam”—yang memiliki kecenderungan untuk merantau juga
melekat kuat mengelindingi kisah. Jika meninjau muatannya yang menopang, akan
terasa tujuannya bukan preventif, lebih dari itu. Lebih sebagai maksud membuka
diri agar siapa pun yang bernyata siaga menjadi pekerja migran, hendaknya tak
memodalkan sikap enteng dan asal berangkat. Butuh persiapan kukuh, utuh, bersama
mental-psikologi: deep gaze. Bahkan tentunya hal terburuk sekalipun
harus benar-benar diilusikan hidup-hidup. Bukan sekadar melintas mentah dan
ditepis begitu saja.
Pada bagian inilah—justru, secara umum novel yang
latar regulasi bersastranya sangat tak berjarak dari aspek religius, ternyata
mampu memunculkan hal-hal menakjubkan meski suara cerita yang disuratkan terkesan
sepele. Mendebarkan sisi gelap. Misalnya siapa yang menyangka gadis selugu
Inna, yang masih berusia 17 tahun, dengan polosnya ingin membantu sang bapak
(menjadi pekerja migran) dengan tujuan agar adik-adiknya bisa melanjutkan
sekolah sampai ke menara gading, justru terjebak dari itu. Klise. Tuturan yang
biasa. Juga perkataan yang ringan. Tapi dari sanalah semua penderitaan muncul. Setelah
makin bertekad, dari sanalah seluruh pengorbanan Inna dimulai. Dari ditipu
kerabat dekat, menjadi buron, tidur dalam rumah pelacuran, diperkosa, dan
seterusnya. Siapa yang menyangka, dari keinginan sederhana itu, berbagai
kehancuran menghadang.
/3/
Apa yang diceritakan dalam novel Di Balik Tirai
Malaya oleh Zai ini demikianlah adanya. Patut disampaikan kisahnya cenderung
populer. Bukan hal baru pula. Biasa adanya. Tapi tak kalah dengan novel-novel
sejenis yang ditulis pengarang yang sudah punya nama besar seperti Habiburrahman El-Shirazy, Abidah el-Kalieqy,
Asma Nadia, dan lain-lain. Sungguh tak kalah. Turut bangga mengetahui
kehadirannya. Dasar sebagai karya sastra yang punya prinsip jelas juga tertera.
Setidaknya searah dengan apa yang disampaikan Y.B. Mangunwijaya, yang disebutkan
oleh Tia Setiadi bahwa pada mulanya seluruh karya sastra adalah religius. Novel
Zai ini, secara impulsif tak bisa lepas dari ruang religius memang. Hal ini disebabkan
latar budaya pengarang yang lekat dengan Madura.
Tapi sekali lagi, bukan objek itu yang menjadi daya
tarik, melainkan serangkaian peristiwa kelam yang dibuka dengan cara menyajikan
(secara tak langsung) adegan-adegan yang “seakan-akan” menjelaskan seperti apa
seharusnya perempuan bersikap jika suatu waktu ketiban masalah yang bakal
menghancurkan. Lepas di satu sisi persoalan takdir juga jadi perhitungan yang
tak bisa dihampakan. Bukan untuk mengajarkan, tetapi artinya—bagaimana mungkin seorang tokoh lembut seperti Innara
Izzatunnisa, yang belia dan hijau, bisa meloloskan diri dari kungkungan iblis
yang hadirnya tak diduga-duga. Jauh di negeri orang. Toh ia bukan seorang
Kartini yang dikeliling kekuatan material. Bukan Kunti atau Gandari yang
ditebari kecemerlangan mahkota singgasana. Innara, hanya seorang
tokoh—representasi seorang pekerja migran yang tak tahu apa-apa dan hanya
bermodal kepolosan. Gadis desa, sayu, dengan perilakunya yang mendayu.
Di titik itulah sebenarnya yang menjadikan novel ini
memiliki rasa dahsyat. Hingga menyeluruh. Tak mudah mengusung kepolosan tokoh dengan
cara yang total. Kejadian pemerkosaan tak terjadi sebatas yang terjadi. Tapi
bagi pembaca yang jeli, bagian inilah (salah satu dari sekian kelembutan tokoh
Inna) yang berhasil menyelamatkan keadaan Inna di kemudian hari. Bagian yang
tak sekadar menjelaskan buruknya ruang-ruang yang mengarah ke zina apa pun
modusnya. Juga pada satu titik terendah ketakberdayaan seorang perempuan,
terdapat sebuah hal yang tak boleh lepas dari jiwa. Sesuatu di atas keyakinan.
Di atas kepastian-kepastian yang terkeping. Yakni, unsur yang tak semata-mata
logos, melainkan revelasi-revelasi yang menyadari bahwa manusia tak akan bisa
lupa kekuatan doa, hukum doa, dan hasil doa.
Memang lucu argumen ini. Subjektif. Namun perlu
ditegaskan, apa yang disajikan oleh Zai selaku penulis, adalah sesuatu yang
menjawab seperti apakah keajaiban bekerja? Aspek logos yang tak melulu sebagai aspek
tunggal dan tak bisa diganggu gugat? Ataukah ada ruang lain yang bekerja hingga
ke tingkat sublim? Inna yang diperkosa dan mahkotanya akhirnya terenggut,
memilih calon suami antara orang yang memperkosanya atau orang yang telah mampu
dirasakannya dengan cinta, merupakan timbal balik yang mengenyahkan logika
hingga ke aspek kritis. Pilihan-pilihan yang Inna aksikan bersama sifat dan
sikapnya, segala itu bukan pilihan gampang. Tapi sekecil apa pun kekuatan yang
tersisa, selagi itu sesuatu yang benar-benar murni dari dalam jiwa kita,
hadiahnya tentu: mengagumkan.
Seperti bunyi puisi berjudul “Cinta” yang ditulis
oleh perempuan asal Jakarta, Novy Noorhayati Syahfida di bawah ini,
ada
jejak yang tak terhapus
oleh
waktu sekalipun
ribuan
huruf menjelma tangis
dalam
air mata
dalam
secarik pinta
Daftar
Rujukan
el-Kalieqy,
Abidah, dkk. 2012. Antologi Puisi Perempuan Penyair Indonesia Kartini 2012. Jakarta:
Kosa Kata Kita
Gandhi,
Mahatma. 2011. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial (Terjemahan Siti
Farida). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Setiadi,
Tia. 2019. Semesta dalam Satu Tarikan Nafas. Yogyakarta: Diva
Tagore,
Rabindranath. 2018. Gitanjali. Ecosystem: Surabaya
Zai,
2021. Di Balik Tirai Malaya. Sumatra Utara: Ujung Pena
0 comments:
Posting Komentar