Hari ini Senin tanggal 31 Maret 2025. Tellasân pètra. ‘Īdul fitr.
Bukan hari raya idul fitri. Sebab idul itu sudah berarti hari raya. Tapi apa benar
tellasân itu hari raya? Jelas bukan. Tellasân berasal dari kata telas
yang berarti ‘habis’. Tellasân maksudnya sehabis bulan puasa. Tellasânpètra bisa dibenarkan sebab bisa berarti ‘seusai zakat fitrah’.
Dengan maksud sama orang Jawa menyebut dengan kata bakda dengan a
terakhir dibaca [ɔ]. Artinya ‘setelah’. Diambil dari bahasa Arab ba’da. Lebaran
dengan arti ‘īd tidak ada dalam kosa kata Madura. Namun ada kata lebbhâr
yang berarti ‘selesai’.
gambar dari microsoft designer
‘Īdul aḍḥa? Di Madura disebut tellasân kurban. Nama lainnya tellasân rèrajâ.
Rèrajâ merupakan singkatan dari arè rajâ ‘hari besar’. Mungkin diadopsi
dari bulan jawa ke 12 Besar. Hari rayanya disebut besaran. Sama dengan
sebelumnya, tellasan ini merayakan puasa sunnah 9 hari bulan Zulhijah.
Selain ‘īdul fitr dan ‘īdul aḍḥa ada tellasân topa’. Orang
Jawa menyebutnya kupatan. Tellasân topa’ secara harfiah berarti ‘habis
ketupat’. Nama lainnya tellasânpètto atau tongarè. Dirunut
dari unsur idiom berarti ada yang habis, yaitu habis puasa syawal 6 hari. Dimulai
tanggal 2 dan berakhir tanggal 7. Jika tellasân pètra merayakan puasa
ramadan tellasân topa’ merayakan puasa sunah bulan syawal. Salat? Tentu tidak
ada. Sebab tellasân topa’ murni budaya.
‘Īdul fitr diisi dengan silaturahmi bermaaf-maafan. Tradisi ini dilakukan dengan satu-satu
mengunjungi kediaman sanak saudara. Biasanya yang muda mengunjungi yang lebih tua
atau berkumpul dirumah orang paling tua misalnya kakek-nenek atau buyut. Untuk ini,
ada tradisi mudik atau pulang kampung. Orang Madura dulu menyebutnya dengan toron
‘turun’. Di sisi lain berangkat kembali ke perantauan disebut ongghâ ‘naik’.
Selain itu ada tradisi ter-ater. Secara harfiah bersinonim dengan
bahasa Indonesia *antar-antar atau mengantar sesuatu. Tradisi ini dilakukan
dengan saling antar makanan kepada sanak saudara. Tujuannya bukan bertukar
makanan seperti pandangan sinis sedikit kalangan. Tujuan utamanya adalah silaturahmi
dan ter-ater merupakan medianya. Yang mengantar biasanya yang muda ke
yang lebih tua. Tujuan lainnya adalah mengenalkan anak muda pada sanak
saudaranya. Isi dari ter-ater sebenarnya sangat sederhana yaitu nasi dan
lauk, biasanya ayam. Sehingga ketika sanak saudara terasa jauh karena tidak
saling mengunjungi orang madura menyebutnya èlang nasè’ sapeṭṭok ‘hilang
nasi se-peṭṭok’. Sapeṭṭok adalah ukuran nasi yang dipadatkan
seukuran pengangan dua tangan.
‘Īdul aḍḥa tidak terlalu istimewa di Madura. Tidak ada tradisi khusus yang menyebabkan
perantauan yang agak jauh tidak pulang mudik. Namun, ketika tingkat ekonomi makin
baik, ‘īdul aḍḥa diisi dengan menyembelih hewan qurban. Dulu hanya
dilakukan di masjid. Sekarang, ada yang melakukannya di rumah dengan membayar
tukang sembelih dan potong daging qurban.
Tellasân topa’? Sebagian besar diisi dengan kegiatan rekreatif. Ada juga tradisi-tradisi
setempat. Di Kamal, kabupaten Bangkalan, misalnya, melakukan dengan naik perahu
ke tengah laut (Patoni 2024). Di beberapa
daerah ada yang membuat makanan khusus misalnya lepet.
Rujukan
Patoni. 2024. “Tradisi Warga Bangkalan Saat Lebaran Ketupat:
Naik Perahu Ke Tengah Laut.” Nu.or.Id. Retrieved April 1, 2025
(https://nu.or.id/jatim/tradisi-warga-bangkalan-saat-lebaran-ketupat-naik-perahu-ke-tengah-laut-Nw6OJ).
Ruang Budaya adalah situs web yang dikelola
dengan sederhana. Namun, kami ingin berkembang dan memberi kontribusi pada bangsa
dan negara. Untuk itu, kami mengharap kontribusi tulisan untuk pengembangan
situs ini.
Bagi saudara-saudari yang memiliki tulisan
berkaitan dengan budaya yaitu bahasa, sastra, adat-istiadat, upacara-upacara,
dsb dan hendak mempublikasikannya, silakan kirim ke email majalahruangbudaya@gmail.com. Sertakan
nama dan nomor gopay di bagian bawah tulisan. Honorarium untuk tulisan yang kami muat, kami bayar sesuai
kemampuan kami.
Puasa Ramadan dengan segala nuansanya menjadi sangat istimewa. Amal ibadah
berupa salat tarawih, zakat, sedekah, dan sebagainya dilipat gandakan
pahalanya. Ya, sayang itu tak terlihat kasat mata. Yang jelas ada fenomena baju
baru hari raya, opor ayam, uang jajan, dan makanan berbuka yang menggugah
selera. Bagi anak kecil ini tentu istimewa meski di sisi lain membuat orang tua
sedikit sakit kepala.
Bagi orang dewasa, mudik media silaturahmi dan menceritakan perantauan.
Sebagian untuk unjuk kesuksesan. Ada yang bawa mobil cc besar. Kita tak boleh
bersangka itu sewa. Baik sangka saja. Riuh saling nilai baju baru selesai salat
id dan mukena masuk lipatan sajadah. Sedekah tahunan ajang unjuk kesuksesan.
Hari lain? Lain cerita.
Tapi... biarlah. Itu bukan ajaran agama. Itu cara pikir. Kali ini kita
cerita budaya. Darusân. Akhiran -an sering bermakna budaya islami
seperti yâsinan, sabellâsân, manaqibhân, dsb. Tak relevan
disebut bid’ah sebab ini budaya. Bukan ibadah, seperti tellasân topa’
atau kupatan yang merupakan hari raya untuk enam hari puasa syawal. Isinya
hanya syukur soal hati. Seperti juga tahlilan yang sekarang sering diisi main
HP oleh sebagian generasi mudanya. He he he...
Darusân singkatan dari tadārus ‘saling belajar’. Berasal dari akar
dal, ra’, dan sin. Awalnya saling. Lama-lama jadi ajang unjuk kepintaran baca.
Awalnya saling meng(k)oreksi. Lama-lama saling menjatuhkan. Akhirnya darusan
beralih menjadi baca quran secara estafet. Tapi toh itu tak masalah. Daripada
tidak baca quran baik dalam ramadan maupun di luar.
Menarik? Tidak? Sudah biasa? Baik kita pindah ke makanan saja. Tapi, masih
dalam lingkup darusân. Syaiun.
Bukankah syaiun itu berarti sesuatu? Di desa saya syaiun adalah
suguhan yang diberikan suka rela oleh anggota masyarakat. Wujudnya bisa apa saja.
Gorengan, lemper, atau bahkan hidangan makan seperti nasi, bubur, dsb. Tentu
saja pasti ada kopi. Tapi, mengapa syaiun? Apa orang kampung saya begitu
fanatik dengan bahasa Arab? Atau apa itu nama yang lebih islami daripada nama
yang memakai bahasa lokal? Atau... ada ustaz atau ulama yang segan menyatakan ada
makanan sebab kesannya bu’-tabu’ân? Syaiun berperan sebagai
eufemisme untuk makanan? Wallahu a’lam.
Yang jelas, syaiun menemani kami untuk baca Quran sepanjang malam. Tentu
bagi yang tidak sekolah paginya. Sebelum saya tutup, saya ingin menjelaskan
kata bu’-tabu’ân. Kata ini berasal dari tabu’ yang berarti perut.
Bu’-tabu’ân adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan guru atau pemangku
yang suka meminta makanan dengan sindiran atau secara langsung. Tentu umat atau
santri terpaksa memberikan meski berat hati karena segan. Ini berlaku juga
untuk ulama atau ustaz yang mendatangi salah satu undangan dari beberapa dengan
pertimbangan nasi berkat yang paling baik.
Saya
sudah lupa setiap hari apa. Kami mengikuti pelajaran olah raga pagi-pagi buta. Biasanya
kami berangkat setelah subuh. Kami menyebutnya PD. Apédé kata kerja yang
bersinonim dengan berolah raga. Dengan kaos olah raga dan celana pendek tanpa
tas. Sepatu? Jangan tanya. Sebagian besar kami tak punya. Kepala sekolah dasar
saya Pak Sayyadi namanya. Beliau hanya mewajibkan topi dan dasi untuk seragam. Kata
beliau sepatu mahal dan tidak bisa memaksa. Saya? Bapak selalu membelikannya. Yang
saya ingat Rieker, merek sepatu yang populer 1990-an. Urusan sekolah prioritas
bagi orang tua saya. Uang saku? Pelit. Eh salah. Irit.
Olah
raga selalu dimulai dengan lari keliling lapangan. Lalu senam dipimpin oleh
guru olah raga. Guru olah ragaku Bu Dewi namanya. Wajahnya? Samar-samar dalam
ingatan. Yang paling saya ingat hukuman beliau. Combel. Mencubit agak
besar pada bagian dada. Tentu untuk siswa laki-laki. Jangan tanya sakitnya. Bahkan
sering ada memar kehijauan. Lapor orang tua? Dapat bonus tambahan. Omelan.
Acara
dilanjutkan dengan permainan. Biasanya bola untuk siswa laki-laki dan lompat tali
untuk perempuan. Jangan tanya aturan. Yang penting gembira. Olah raga selesai kira-kira
pukul 7.30 bersamaan dengan siswa kelas lain yang mulai berdatangan. Kami masuk
pukul 7.30, bukan pukul 7. Kami pulang dan kembali lagi pukul 9.30.
Terus?
He he... Cerita ini tentang PD. Apa itu? Singkatan ini kembali populer saat
saya di sekolah menengah. Entah menengah atas apa bawah. Populer bersamaan
dengan sponsor deodoran untuk ketiak. Percaya diri. Percaya diri? Logika saya
menolak. Apa hubungannya dengan oleh raga? Kok tidak nyambung?
Waktu
pun terus berlalu. Masa kuliah kulalui. S1 lalu lanjut S2. Entah kapan saya
periksa dalam KBBI edisi IV. Ada singkatan pada bagian belakang. PD? Bukan. Dalam
gabut terlintas kata Damri. Bis kota jurusan Kamal-Burneh. Suramadu belum ada waktu
itu.
Damri?
Apa hubungan bis dan olah raga? Kita lanjut dulu ya? Damri rupanya akronim dari
Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia. Sudah bisa menghubungkan? Perhatikan
D pada Damri. Ternyata itu J dalam ejaan van Ophuijsen. Dan PD? Pendidikan Djasmani
dengan menggunakan ejaan Soewandi. Dari mana kami dengar kata apédé? Dari
teguran orang tua ketika kami tidur larut. Cong, ayo tèḍung. Lagghu’ apéḍé. Tako’
kasiyangan. ‘Cong, ayo tidur. Besok (pelajaran) olah raga. Takut kesiangan.’
Nyolok? Bahasa mana itu? Biarlah saya
cerita. Tentu jangan berkesimpulan bahwa cerita ini benar semua. Memori itu
absurd. Bisa terdistorsi antara fakta lama dan imajinasi. Tapi, sudahlah…
percaya atau tidak saya akan tetap bercerita.
Pengalaman mencari ilmu yang paling
dominan dalam memori, tentu, di Pondok Pesantren Darul Hikmah. Saya tidak
pernah mukim di pondok. Hanya berangkat sebelum Maghrib, pulang pagi pukul 7
istiwa, untuk balik sekolah formal pada pukul 8 istiwa. Pulang pukul 12 istiwa
menjelang zuhur. Saya sudah lupa kapan itu dimulai. Seingat saya tsanawiyah
kelas dua awal.
Semua pengajian saya ikuti sama
dengan santri yang mukim di pondok. Hanya pengajian setelah asar saja yang
tidak saya ikuti. Secara keseluruhan 3/4 waktu saya di pesantren. Senang? Mulanya.
Sampai… Saya merasa bosan. Sia-sia. Apa yang saya ikuti tidak masuk sama sekali
ke kepala. Atau… mungkin perasaan saya saja.
Dalam kebosanan itu ada sebuah jalur
alternatif. Bahasa Inggris. Saya sudah lupa kapan tepatnya dan bagaimana
mulanya. Yang jelas kami berempat ikut kursus subuh di EQC. Lembaga ini telah
saya ceritakan pada cerita yang lain. Melalui buyut saya yang masih ada
hubungan famili dengan Mi’, sebutan untuk ibu haji singkatan dari ummi. Saya ikut
selama kurang lebih satu setengah tahun. Sebutan untuk kami adalah outsider.
Kata ini berkonteks siswa yang tidak mondok yang bisa keluar kapan saja. Demikian
juga masuknya.
Kesadaran muncul untuk mengaji lagi saat
semester genap SMU kelas satu. Dengan berbekal gramatik bahasa Inggris untuk
diperbandingkan, ternyata nahwu itu mudah. Bahasa kerennya metode kontrastif. Baru
saya ketahui setelah kuliah S2 karena sering mengajar linguistik. Padahal, S2
ilmu sastra. Mungkin juga sebab sering menulis bahasa Madura.
Pada periode kedua ini merupakan
periode mengaji paling panjang. Saya mengaji di pesantren sampai anak saya lahir.
Paling tidak hataman tiap bulan Ramadan. Hataman sendiri mengaji hanya untuk
memberi makna. Bahasa Maduranya nyasa’.
Nyolok? Ngaji ke pesantren tanpa mondok. Dan outsider
dalam cerita saya bersinonim dengan nyolok. Nyolok sendiri berasal dari
sejenis obor yang bernama colok. Nyolok artinya berjalan atau bepergian menggunakan
penerangan colok atau obor. Nyolok kemudian menjadi kata tersendiri yang
berarti ngaji ke pesantren pada malam hari. Siangnya tidak di pesantren yang
membedakan dengan santri pondok yang siang malam di pesantren.
Saya yakin Anda yang seumuran
dengan saya tahu maksud judul tersebut? Itu adalah hp Nokia yang populer pada
awal dekade 2000-an.
Saya membeli HP pertama saya saat
semester lima atau enam. Entahlah. Yang jelas bukan semester empat. Harganya
pun sudah lupa. Seingat saya antara 300-500 ribu Rupiah. Second hand asal
Malaysia. Warnanya biru dongker. Layar monochrome, tentu tanpa kamera. Itu saja
sudah istimewa. Pada waktunya tentu saja.
Kartu sim pertama XL. Harga
50 ribu isi pulsa 25 ribu. Biaya sms (short message service, layanan
pesan singkat) 350 rupiah sekali kirim dangan jumlah karakter terbatas. Biaya
telepon 2000 per menit. Tentu dipakai seperlunya. Harga pulsa tidak ramah
kantong mahasiswa meski sambil berkerja sebagai honorer swasta. Rp 128.000
sebulan hanya cukup bayar kuliah 50 ribu, transportasi, keperluan mandi, dan
pulsa. Makan masih numpang orang tua.
Biarlah... Kita abaikan kisah
mengharukan itu. Saya lanjutkan dengan cerita Nokia 3310. Tidak sama dengan
penyebutan internasionalnya, di Madura handphone ini di sebut tello’ tello
sapolo ‘tiga tiga sepuluh’. Dalam bahasa Inggris Nokia thirty three ten
atau 33-10. Jika mau konsisten bisa dibaca “tiga ribu tiga ratus sepuluh” atau
3310. Sayangnya, angka itu bukan jumlah. Mungkin “tiga puluh tiga sepuluh” atau
33-10. Bisa juga “tiga tiga satu kosong” atau 3-3-1-0. Orang Madura tak memilih
ketiganya. Mereka menyebut hp ini Nokia tello’ tello’ sapolo atau
3-3-10. Campuran tidak padu, kan?
Bhiru dongker? Bhiru dalam konteks
ini adalah biru dalam bahasa Indonesia. Bukan hijau seperti biasanya. Sedangkan
dongker berarti tua. Bhiru dongker berarti biru tua atau biru gelap yang
dalam bahasa Inggris disebut dark blue. Bahasa Belandanya? Donkerblauw.
Baiklah kita bahas bhiru
dulu. Bhiru dalam bahasa Madura bermakna dua, bisa hijau atau biru.
Biasanya dibedakan dengan penjelas frasa. Bhiru ḍâun ‘biru daun’ untuk
hijau dan bhiru langngè’ ‘biru langit’ untuk biru. Biru tua di sebut bungo.
Mirip ungu, kan? Nah, ungu sendiri disebut bungo terrong. Ribet gak itu?
Dengan konsep biru yang ribet
tersebut, muncul juga frase bhiru dongker. Secara harfiah berarti biru
tua. Mengapa tak pakai bungo saja? Atau bhiru tuwa. Mengapa harus
dongker? Apa ini tanda bahwa orang Madura memang ghâ-oghâ? Tak
tega rasanya menyebut demikian. Baiklah kita sebut saja bahwa orang Madura pun
berbahasa Belanda?
Kembali ke 3310. Nokia 3310
ini menceritakan sebuah cerita. He he he... Diksi yang janggal. Menceritakan sebuah
cerita. Tentang Nokia ber-casingpink saat si bhiru dongker
bermasalah dan masuk reparasi. Kejadian ini terjadi kira-kira setahun setelah
Nokia 3310 saya beli. Mungkin lebih.
“Pakai saja hpku, Mas.”
“Serius?” Sambil menatapnya penuh
tanda tanya. Hp bukan barang murah. 300 ribu senilai spp satu semester di STKIP.
Dia bersedia meminjamkan? Kami tak punya hubungan istimewa. Hanya kenal sedikit
akrab. Gak takut hpnya saya jual?
“Serius!” dengan senyum khas-nya.
Ia menganjurkan hp itu.
Saya pun mengambil hp
tersebut. Dia berpesan agar kartu sim-nya saya amankan. Nomor itu sudah
terlanjur menyebar.
Di rumah, saya buka casing
belakang, lepas baterai, lepas kartu sim, kemudian saya ganti dengan kartu sim
saya. Tentu setelah perangkat dimatikan. Pasang baterai, casing belakang dan tekan
tombol on/of. Hp ber-casing pink aktif. Tiga hari saya pakai hp itu dan wajah
pemiliknya memaksa masuk dalam memori kepala.
Belakangan beberapa tahun
kemudian saya bertanya. Ia menjawab bahwa ia percaya. Dan ketika saya tanya
kenapa percaya, ia tak bisa menjelasakan alasannya.
Formalisme adalah teori dan
analisis sastra yang berasal dari Moscow dan St. Petersburg. Teori ini muncul
pada dekade kedua abad kedua puluh. Karena berasal dari rusia, teori ini
disebut formalisme rusia. Di antara tokoh sentral gerakan teori ini adalah
Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky, dan Roman Jacobson (Abrams and Harpham
2015:141–42).
Ketika model kritik ini
ditekan oleh pemerintah soviet pada 1930-an pusat gerakan ini pindah ke
Cekoslowakia. Gerakan ini diteruskan oleh Lingkar Linguistik Praha dengan
tokohnya Roman Jakobson, Jan Mukarovský, dan René Wellek. Pengaruh Wellek dan
Jacobson meluas sampai ke Amerika ketika mereka mengajar di beberapa
universitas Amerika pada 1940-an (Abrams and Harpham 2015:142).
Konsep Dasar
Formalisme berpandangan bahwa
bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa. Bahasa biasa mengkomunikasikan pesan
dan informasi pada pendengar dengan mengacu pada dunia di luar bahasa. Bahasa sastra,
di sisi lain, menghadirkan bahasa yang mengandung unsur kebersastraan (literariness).
Dalam hal ini, Roman Jacobson menyatakan bahwa objek studi sastra bukan karya
sastra tetapi kebersastraan (Abrams and Harpham 2015:142).
Karena berbeda dengan bahasa
biasa, bahasa sastra menurut Viktor Shklovsky merupakan hasil estrange atau defamiliarize. Dalam kesastraan
Indonesia disebut dengan istilah defamiliarisasi. Defamiliarisasi ini dipakai
oleh penulis untuk menghadirkan sensasi baru yang lebih segar (Abrams and Harpham 2015:143).
Daftar Pustaka
Abrams, M. H., and Geoffrey Galt
Harpham. 2015. A Glossary of Literary Terms. 11th ed. Boston: Cengage
Learning.
Yâsinan. Ternyatan tidak hanya baca yasin. Ada juga pembacaan salawat diiringi
hadrah. Gampangnya begitu. Seperti juga tahlilân.
Tidak hanya bacaan tahlil. Ada yasin, salawat, zikir, dsb. Kita tidak bicara
itu. kita bicara acara makan-makan setelahnya. Disclaimer: kami membaca untuk Allah
bukan untuk berhala ya. Soal Allah terima atau tidak itu sepenuhnya di
Tangan-Nya. Soal ada yang membid’ahkan itu urusan mulut masing-masing. Saya abaikan.
Sebab pernyataan penonton tidak menentukan juara. Hanya juri yang lebih tahu. Dan,
juri amalan saya tak usah saya sebutkan. Anda semua pasti sudah tahu. He he he...
To the point saja. Poinnya? Oh iya. Judul. Baiklah saya akan
bercerita.
Waktu itu, seingat saya, yasinan
diadakan setiap malam Minggu. Maunya saya tulis Ahad. Tapi, sudahlah Minggu resmi
dari pemerintah. Malam Jumat untuk perempuan. Dari rumah ke rumah. Tentu rumah
anggota. Langkap barat. Saya ikut yasinan langkap barat. Sorenya pasang toa. Jauhari
ahlinya. Naik pohon, perbaikan, dsb. Saya? Tim hore. Kadang tukang panggul dari
masjid ke TKP.
Ketika sampai di masjid
setelah pemasangan, sering kali ada pertanyaan bocoran. Apa kedi’? ‘Apa nanti
malam?’ Dan itu selalu mengarah ke “Makan apa kita nanti malam?” Disclaimer
lagi. Ini tidak terkait dengan datang atau tidak datang. Hanya gurauan. Sebab,
setelah ada jawaban, kami tertawa bersama-sama. Apa pun hidangannya nanti
malam.
Yasinan dimulai setelah
maghrib. Geng masjid berangkat semua. Saya sebut anggotanya. Biar tak penasaran.
Abdul Halim, Anas, Basri, Hamzah, Idris, Jauhari, Ros, dan Seli. Tentu saya
juga. Anggota istimewa Barmawi dan Ridwan. Menjelang isya salah satu pamit
pulang ke masjid untuk azan. Setelahnya langsung kembali ke TKP. Begitu selalu.
Salat setelah pulang. Tentu berjamaah. Acara dimulai dengan pembacaan yasin
lalu salawat nariyah dilanjutkan salawat barzanji dengan hadrah. Tentu dengan
mahal al-qiyām alias berdiri. Sambil goyang-goyang kecil. He he he..
Ramah tamah. Eh salah. Makan-makan.
Dan... ini saat krusial. Terutama kami bagian ujung lingkaran. Kanan atau kiri.
Jika ada tujuh orang, piring bisa delapan, sembilan, dan seterusnya. Tuan rumah?
Hanya tersenyum dan pura-pura tak melihat. Dan siapa yang makan lebih dari
satu? Ada di antara kami yang menawarkan. Itu pemantik saja. Yang lain
mengambil piring kedua. Bahkan, ketiga. Sambil tersenyum dia berkata, “Toḍus,
tona.” Artinya, ‘Malu, rugi.’ Itulah mantra yang melancarkan rizki. He he
he...
Pelaku tidak malu. Sebab, ini
sama sekali tidak memalukan. Suasana akrab dan menyenangkan memberi ruang. Ruang
kejujuran dan apa adanya. Bahkan jika tuan rumah melihat ada kelebihan piring
makan yang belum termakan, ia akan berkata, “Ayo tamba. Ongghu.” ‘Ayo
tambah. Sungguh.’ Maksudnya tuan rumah tidak sekedar basa-basi menyuruh kami nambah
jatah. Ia senang jika suguhannya dimakan oleh yang hadir.
Setelahnya, pengurus menyebutkan
siapa giliran malam minggu berikutnya. Lalu ditanyakan OK atau not OK. He he
he.. Ini bahasa saya. Jumlah akhir kas juga disebutkan. Kami bubar dengan slawât
dongkra’. Secara harfiah berarti salawat dongkrak. He he he... Maksudnya
allahumma shalli ‘ala muhammad. Yang dijawab dengan salawat pendek oleh yang
lain secara bersama-sama. Salawat ini meringankan pantat naik untuk berdiri. Sebab,
tidak nyaman untuk pulang lebih dahulu sebelum yang lain. Mirip dongkrak yang
bisa mengangkat barang berat.
Tentu kami tidak bisa pulang lebih
dulu. Kami harus menurunkan toa, mencabut semua kabel dari ampli. Termasuk menggulung
kabel listrik, kabel mik, dsb. Lalu kami bawa kepenyimpanan di ruangan samping
pengimaman. Kami tidur di serambi luar masjid dengan alas tikar pandan yang
dibawa dari pemakaman, pembungkus mayat. Tentu setelah dicuci.
Sastra Indonesia modern Bangkalan telah ada
sejak 1960-an. Pelopornya R. Syarifuddin Dea yang dikenal oleh sastrawan
Bangkalan dengan nama panggilan Babe. Penulis lain adalah Pak Narto dengan nama
pena Rasnavastara.[2]
Generasi pertama ini agak sulit ditelusuri mengingat pada generasi ini minim
arsip dan publikasi.
Sastra Bangkalan sebagian besar tidak ditulis
oleh kaum santri. Hal ini berbeda dengan sastra Indonesia di Sumenep. Seniman
Bangkalan awal sebagian besar dari kaum ningrat yang memiliki akses pada
pendidikan formal. Generasi berikutnya dari sekolah-sekolah negeri yang
memiliki komunitas seni. Komunitas sekolah ini menghasilkan tokoh-tokoh
generasi kedua seperti Ribut Rahmat Jaya, Sunar Dwigjo Wahono, Sonny T.
Atmosentono, R. Timur Budi Raja, M. Helmy Prasetya, dsb. Kiprah generasi kedua
ini pada masa sebelum 2000, kira-kira 1990-an.
Meski-sudah aktif sebelum tahun 2000-an,
hampir semua penerbitan karya dilakukan setelah tahun 2000. Karya yang terbit
sebelum itu adalah Anak Beranak (R. Syarifuddin Dea dan R. Timur Budi
Raja, 1998) dan Nyanyian Tanah Kering (Antologi Bersama, 1999)[3].
Pelacakan karya bisa dilakukan dengan melihat angka tahun misalnya pada puisi
yang dicantumkan dalam buku.
Generasi ketiga lahir di perguruan tinggi,
terutama di STKIP PGRI Bangkalan. Generasi ketiga melahirkan penulis-penulis
seperti Rozekki, Anwar Sadat, Muzammil Frasdia, Muhlis Alfirmany, Eko Sabto
Utomo, Andi Moe, dsb. Jika generasi sebelumnya, sebagian besar berasal dari
sekitar kota bangkalan, generasi ketiga ini berasal dari berbagai penjuru
kabupaten Bangkalan.
Pada generasi ketiga ini, ada sastrawan
Bangkalan yang secara sejarah agak berbeda latar belakang. Salah satunya Ahmad
Faishal (Acong). Acong memang berasal dari kabupaten Bangkalan. Ia menempuh
pendidikan sampai setingkat SMA di Bangkalan. Akan tetapi, dalam bersastra, ia berproses
di Surabaya. Ia pernah menjadi ketua Teater Gapus dari kampus Unair Surabaya.
Di sisi lain ada Buyung Pambudi. Bermula dari
jurnalis JTV yang ditugaskan di Madura, BP berasal dari Pati Jawa Tengah. Bukan
orang Madura, tetapi mulai menulis sastra di Madura. Sebenarnya, kiprah BP
sudah sejak tahun 2000-an. Namun dosen di STKIP PGRI Bangkalan ini menulis buku
pertamanya pada 2016. Tulisan sastra pertama dosen yang berbahasa Madura ini
berupa memoar, based on true story, berjudul Cinta di Kaki Bukit
Baiyun[4]. Buku
ini bercerita tentang perjalanan penulis mengantar istrinya berobat ke negara
China.
Generasi keempat diisi oleh penulis-penulis
mahasiswa. Sebagian besar menulis hanya sebagai ekspresi eksistensi diri. Bukan
sebagai hobi apalagi sebagai jalan hidup. Karena kemudahan publikasi, generasi
ini paling banyak menghasilkan buku sastra. Hal ini ditunjukkan dengan
terbitnya 45 buku puisi pada 2016 dan 37 buku puisi pada 2017. Buku-buku
tersebut diterbitkan dalam euforia Festival Puisi Bangkalan pertama dan kedua.
Pagar Diri: Kekuatan Sastra Bangkalan
Menilik penjelasan sebelumnya, masa depan
kesusastraan Bangkalan masih bisa diharapkan. Sejak sastra Bangkalan ada dan
berkembang, tidak kurang dari 40-an penulis telah menyumbangkan ide dalam
bentuk tulisan. Sejak 1998 sampai hari ini selalu ada karya yang terbit pada
tiap tahun sampai 2022. Pada 2023 memang tidak tercatat ada karya yang terbit.
Namun kosongnya catatan tersebut tidak menunjukkan bahwa tidak ada karya yang
terbit pada tahun tersebut. Data yang saya sajikan pada chart ini hanya data
dari komunitas Bangkalan, terutama KML, Komunitas Bawah Arus, dan Kopi Lembah.
Data ini belum memasukkan sumber dari Kalam Literasi Kwanyar (KLK) yang tetap
aktif sampai hari ini. Sebagian besar karya KLK dalam bentuk prosa
Berikut disajikan diagram terbitan buku sejak
1960-an sampai dengan 2024. Daftar lengkap sastrawan Bangkalan dan karya-karya
mereka bisa dibaca dalam Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan.
Jumlah terbitan dari 1966-2024
Diagram tersebut menunjukkan kesusastraan
Bangkalan terus berlangsung. Perkembangan produksi sastra, meski fluktuatif,
juga terus berjalan. Kepesertaan dalam event sastra juga terus terjadi dan
mengindikasikan kepenulisan sastra di Bangkalan terus berlangsung. Terakhir
Rozekki menjadi juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala HB
Jassin 2024. Berikut daftar prestasi individu penulis Bangkalan.
2024Rozekki
“Kampung yang Dikuasai Sapi” Juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional
Piala HB Jassin
2023Eko
Sabto Utomo Burdah nomine sayembara buku puisi tunggal Kanjeng Nabi
Muhammad SAW yang diadakan oleh penerbit DIVA Press
2017Rozekki
Fragmen Pasar Burung 13 Naskah Teater Terpilih Rawayan Award 2017 (tanpa
pemenang)
2016Joko
Sucipto Klonnong Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival
(UWRF) 2016
2016Suryadi
Arfa 10 besar dalam seleksi antologi nasional Klungkung: Tanah Tua, Tanah
Cinta[5]
2013Muzammil
Frasdia Pilkada 10 Besar naskah drama terbaik versi Federasi Teater
Indonesia di Taman Ismail Marzuki
2004Rozekki
Lomba Menulis Naskah Monolog Budaya Antikorupsi Tempo
Daftar tersebut hanya menyajikan sebagian
kecil dari keaktivan penulis Bangkalan dalam peristiwa-peristiwa seni. Meski
bukan menjadi tolok ukur utama, sistem seleksi ini menunjukkan bahwa sastrawan
Bangkalan diakui dalam dunia sastra di Indonesia. Tentunya, kualitas sastra
tidak diukur dari menang atau tidaknya sebuah karya dalam sabuah event
kompetisi.
Pagar Luar: Potensi Jangka Pendek
Dalam perjalanan panjang kesusastraan
Bangkalan, kekuatan sastra Bangkalan pada jenis puisi. Sebagian besar masih
bercorak liris. Hanya penulis puisi yang sudah matang yang mengeksplorari corak
naratif dan dramatik. Unsur tema masih seputar filosofi hidup, ungkapan
keindahan yang romantik, dan pseudoetnografi dari buku-buku etnografi Madura
yang cenderung generalistik. Tema cinta masih dominan pada dekade 2000-an. Tema
cinta mulai berkurang dan sedikit meluas pada hal-hal lain pada dekade setelah
2010. Tema politik juga seperti menjadi tabu yang seolah “haram” dalam puisi.
Ditinjau dari publikasi, terdapat banyak
publikasi yang bisa dijangkau untuk saat ini. Penerbitan lokal yang bisa
diakses dengan biaya relatif murah adalah STKIP PGRI Bangkalan press dan
penerbit Komunitas Masyarakat Lumpur. Dari kedua penerbit, KML hari ini masih
dalam pembenahan sehingga belum bisa menerima penerbitan buku.
Terbitan berkala belum tersedia dengan baik.
Terbitan cetak yang pernah ada Buletin Komunitas Masyarakat Lumpur. Tidak
ada terbitan berkala cetak dari komunitas lain. Buletin ini hanya terbit tiga
kali. Dari pertanyaan akrab pada pengurus, masalah terbesar pada pengelola.
Untuk KML yang waktu itu memiliki pengurus dalam jumlah besar, motor penggerak
buletin hanya Joko Sucipto. Selain itu, kontributor dan skema rubrik juga sulit
dikembangkan. Dari dua terbitan, rubrik buletin cenderung berubah.
Media daring yang tersedia juga tidak banyak.
Terutama media yang cenderung terstruktur dengan baik. Media YouTube, misalnya,
yang tersedia hanya dari Komunitas Masyarakat Lumpur. Yang lain menggunakan
nama pribadi seperti Sanggar Lukis Lebur memakai nama pendirinya yaitu Anwar
Sadat. Demikian Komunitas Bawah Arus tidak punya kanal YouTube. Yang ada hanya
kanal bernama Timur Budi Raja.
Media daring yang berbentuk web juga tidak
banyak. Salah satunya ruangbudaya.com yang saya dirikan. KML pernah membuat
media web dan tidak dilanjutkan lumpurkomunitasmasyarakat.blogspot.com. Setahu saya, situs ini dibuat oleh Suryadi
Arfa pada 2016. Tidak ada unggahan pada web blog ini. Hanya ada sebuah laman
berisi profil.
Pada media sosial facebook, hampir semua
komunitas memiliki akun. Akun Kalam Literasi Kwanyar bernama Klk Kalam Literasi
Kwanyar. Akun Komunitas Kopi Lembah bernama Paguyuban Seni Kopi Lembach. Akun
ini juga memiliki satu laman facebook bernama Kopi Lembah yang post terakhirnya
tahun 2021. Yang terkuat di antara semua adalah Komunitas Masyarakat Lumpur.
Nama akun Masyarakat Lumpur, tanpa komunitas.
Meskipun keterbacaan media sosial penting,
keamanan data dan keberlangsungan tetap dimiliki oleh situs web. Ada banyak
alasan. Pertama struktur unggahan yang lebih mudah ditelusuri dengan widget
kategori dan menu. Kemampuan menyimpan file digital atau pengutipan dari url
tertentu. Ketersediaan di mesin pencari web juga menjadi keunggulan situs web
dibandingkan dengan sosial media. Yang terpenting dari semua adalah kelayakan
dalam sitasi keilmuan. Apalagi jika komunitas tersebut menyediakan terbitan
berkala dalam bentuk majalah, tabloid, buletin, atau terbitan berupa buku.
Tidak harus ber-ISBN.
Pagar Kampung: Potensi Jangka Panjang.
Selain kurangnya publikasi konvensional, perlu
juga disampaikan bahwa masa depan sastra tidak bisa mengabaikan aspek digital.
Aspek ini dalam banyak komunitas dianggap tidak penting dan kurang relevan.
Sebagai seni digital memang dianggap tidak “tulen”, tradisi populer, tidak mendukung
peradaban yang baik, dsb. namun, Pada sisi konservasi, digitalisasi menjadi
aspek kunci dari pengarsipan.
Selain itu, sastra juga harus mengikuti
perkembangan pembacanya agar tidak terasing dari dunia nyata. Aplikasi digital
seperti Wattpad misalnya tetap bisa menjadi media untuk menulis sastra serius.
Meski mengindikasikan popularisme, media seperti wattpad tetap tidak menolak
sastra serius. Salah satu yang sukses dengan media daring adalah Agnes Davonar
yang memulai debutnya di friendster lalu blog pribadi. Karya monumentalnya Surat
Kecil Untuk Tuhan.[6]
Selain itu, pengabadian selama ini hanya
dilakukan dengan media ilmiah dalam bentuk karya ilmiah mahasiswa berupa
skripsi, tesis, dan disertasi, penelitian ilmiah dalam jurnal penelitian, dan
bentuk lain yang memiliki jarak signifikan dengan pembaca umum. Salah satu
tulisan penting yang mendekatkan adalah terbitan-terbitan digital yang bisa
diakses dengan mudah. Fiksi fan Indonesia misalnya bisa menjadi alternatif
pengabadian karya. Jika musik dinyanyikan kembali, sastra ditulis kembali oleh
penggemarnya. Dengan tidak mengabaikan hak cipta, fiksi fan atau fiksi
penggemar bisa menjadi salah satu pilihan untuk belajar menulis.
Akhirnya, sebuah daya hidup akan menua ketika
tidak mengikuti perkembangan sumber kehidupan. Digitalisasi, publikasi
multimedia, trasformasi karya dapat menjadi penopang yang menguatkan dan
mensolidkan semua bangunan inti dari sastra dan kesenian. Tanpa itu, sebagus
apa pun sebuah karya akan aus dimakan zaman. Yang terpenting regenerasi yang
baik dan maju dan di sisi lain produksi, reproduksi, dan konservasi.
Daftar Pustaka
Muhri, and Eli Masnawati. Historiografi Ringkas
Kesusastraan Bangkalan. Bangkalan: Komunitas Masyarakat Lumpur, 2018.
Muhri,
Muhri. “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah
Sastra.” Atavisme 20, no. 2 (December 30, 2017): 168.
https://doi.org/10.24257/atavisme.v20i2.305.168-180.
Pambudi,
Buyung. Cinta Di Kaki Bukit Baiyun. Bangkalan: YPLP-PT PGRI Bangkalan,
2016.
“Peluncuran
Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.” Berita Bali, October 28, 2016.
https://www.beritabali.com/berita/201610280004/peluncuran-buku-puisi-klungkung-tanah-tua-tanah-cinta.
“Profil
Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan | Kumparan.Com.”
Kumparan, 2020.
https://kumparan.com/berita-hari-ini/profil-agnes-davonar-yang-melejit-lewat-buku-surat-kecil-untuk-tuhan-1udyyxD3rgR.
[1]Terjemahan paghâr perna tajuk acara
Komunitas Masyarakat Lumpur. Makalah ini disampaikan pada 12 Oktober 2024
[2]Muhri, “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah
Sastra.”
[3]Muhri and Masnawati, Historiografi
Ringkas Kesusastraan Bangkalan, 16.