07 Juli 2025

, , ,

ANTOLOGI PUISI CANTING KENANGAN: KUMPULAN PUISI MUHLIS AL-FIRMANY

Muhlis Al-Firmany bukan nama baru dalam gerakan seni di Bangkalan. Kiprahnya dalam dunia seni teater dan sastra dimulai pada pertengahan 2000-an. Ia berteater, bersastra, bahkan menggarap film-film pendek yang digarap dengan baik. Kali ini disajikan puisi-puisi Muhlis tahun 2010-an yang terkumpul dalam buku Antologi Puisi Canting Kenangan[1]. Dalam artikel ini dipilih puisi-puisi lanskap yang menggambarkan pengalaman batin penulis dengan tempat-tempat ikonik di Bangkalan.



Selamat Menikmati.

 

sungai tangkel[2]

 

kecantikan alamimu

kami abaikan dari sekian lama perjalanan kami melintasimu?

 

kini, kau beda.

mungkin, sebagai bentuk pembalasan pada zaman

atau orang-orang berencana lain dengan keberadaanmu?

 

aku tak menahu.

tapi, cara orang-orang memperlakukanmu

menuntut kami bertanya-tanya.

 

kami akui, kami salah; mengabaikanmu,

paling tidak sekedar mengingat namamu saja kami enggan.

padahal kami harus menyeberangimus;

ratusan, bahkan ribuan kali. tak terhitung.

tapi, satu kali saja beri jawaban pasti pada kami.

kami yang dusta, kami yang jenaka datang ke sebuah kota;

menemui mimpi, menemui sepi berakar perkara. bungkam.

menyengsarakan.

 

kenapa kau diam?

 

diammu banyak membidik. hati-hati.

kelak, mungkin kau akan lebih cantik.

tangan-tangan mendandanimu sebagai permaisuri,

bahkan bisa saja pemujamu dari negeri lain?

 

atau kau akan bernasib lain;

sebagai tempat pebuang segala kotoran.

tersumbat, tak lagi bernafas. sesak.

karena mata-mata mulai terpikat.

terangsang oleh tubuh lain.

tubuh erotis.

tubuh-tubuh berlipstik.

bermata kilau.

 

kilau kekasihku,

kini membentang di tengah selangkang lautan.

 

takdir: menemuinya, sama dengan meraba gelap.

kita amini segala yang terjadi.

 

Bangkalan, April 2010

 

 

pecinan

 

pecinan, kusebut kau demikian.

 

bangunan-bangunanmu kokoh. diam, merapat.

dan sengau melompat dari lubang-lubang sempit;

jejer bagunan ini milik sisa yang terus meminta pertukaran

rahasia.

 

mungkin soal siul kalah.

atau anak-anak gadang lena akan aroma kembang api.

kembang-kembang tani bermandi padi.

bernyanyi puisi.

berlari dari bibir pelangi.

 

kami, darah pribumi

tak pernah mengerti perempuan bercermin

tirani atau dinasti bertarih birahi.

 

ah, kemarin, iya kemarin

kau masih mengajakku jalan-jalan.

 

gelisah membuatku enggan menginjak kedewasaan,

mengingat peta terus retak:

timur dan barat sama-sama berhianat.

 

kaki-kaki menjadi dekil. gigil.

merubah nasib lebih ajaib,

mungkin dongeng kecil,

kecil kami memakan rodi-rodi yang kau tunggangi

dari negeri kincir angin atau negeri tirai bambu.

 

aku benar-benar tidak menahu.

sesempit inikah tanah kita?

sekerdil apakah bangsa kita?

kita sudah lama merdeka bukan?

melampaul ramalan rasi bintang.

 

sesudah ini, merpati-merpati putih kita terbangkan

dari perkampungan nelayan, terlupakan.

bila ia kembali pulang,

kita siapkan sangkar berjeruji bulan.

kita sekap dengan manikam.

rayuan paling tajam.

 

pecinan, kau tarian paling kilau,

kilau penuh sengatan.

 

Bangkalan, April 2010

 

 

gunung geger[3]

 

klaras, umbul-umbul itu akan muncul kelak, anakku.

 

kini kami sudah besar, eyang, tutur katamu ngiang.

gigil, dalam diam. dalam-dalam. semai menuai;

benar atau salah keyakinan kau endapkan dari tanah lampau

hingga petualang nafas kami sampai di sini?

 

tutur cerita kehamilan potreh koneng

meringkuk sunyi di dekapanmu?

pelarian atau pertapaan adalah jejak buram,

sebab dongeng kami, ia tak bersuami?

 

di atasmu, bebatuan planang tak semestinya tercipta sendirian?

kami hanya menyebutmu: kelelakian sejati.

sepi seperti basah pipi nyai-nyai dihianati nasib.

 

ah, wujud tuhan terlalu rahasia untuk kami tafsir.

dan kami patuhi bahwa ratu adil akan muncul ke bumi?

 

ketinggianmu juga terlalu kami yakini sebagai awal mula

timbulnya pulau garang. gersang, asinnya-pun kilau.

mengalir sengau darah-darah tanah seberang.

berpulang sehabis menukar jalan perang.

perang tak pernah menemui ujung pangkal.

 

kami sangsi.

kami generasi mati.

 

Bangkalan, April 2010

 



[1] Muhlis Al-Firmany, Antologi Puisi Canting Kenangan (Bangkalan:Pagar Bambu, 2012) Hlm. 1-17

[2] Sungai Tangkel sungai penghidupan masyarakat Bangkalan, terletak di Kecamatan Burneh.

[3] Gunung Geger bukit/gunung tertinggi di Pulau Madura. Gunung di bagian selatan bebatuannya berbentuk Planang/alat kelamin laki-laki. Gunung ini oleh sebaga masyarakat Madura, diyakini tempat akan munculnya Ratu Adil kelak.

Continue reading ANTOLOGI PUISI CANTING KENANGAN: KUMPULAN PUISI MUHLIS AL-FIRMANY

30 Juni 2025

,

SURO, SEJARAH, DAN DENDAM

 

Muhri

Ini tentang buku sejarah sastra. Yang telah terbit Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia (2014). Sebuah buku ajar Jumlah halaman 80-an. Sesuai judul. Yang jadi pertanyaan, dari 50-an mata kuliah dari kurang lebih 8 mata kuliah yang saya ampu, mengapa sejarah sastra? Mengapa bukan teori sastra, sosiologi sastra, atau yang lain? Dulu mata kuliah ini salah satu mata kuliah yang “gagal” saya kuasai. Buku saya beli. Sedikit saya baca. Tetap saja C. Antara 60-69. Tak sampai 70. Ada yang salah?



Jelas tak ada. Tak ada yang salah. Tapi kok seperti balas dendam kesannya? Dulu gagal sekarang malah nulis buku itu. Ironis, bukan?

Sejarah sastra terjadwal semester satu dulu. Anda tahu siapa saya pada semester itu? Kuper, canggung, minder, pasif, dan segala jenis karakter introvert yang tertutup. Ditambah kenyataan bahwa saya alumni pesantren yang cenderung mengecilkan pelajaran “umum”. Jelas kombinasi yang padu untuk menghasilkan nilai tersebut. Namun, tidak semua benar. Meskipun alumni pesantren dan terobsesi dengan ilmu “agama”, saya tetap berpikir sebagai manusia dunia yang harus memuat pandangan universal.

Tak hanya itu. Move on. Saya mudah menerima kenyataan. Kecewa sudah jadi jalan wajib alur pendidikan saya. Dari TK inginnya ke SDN Langkap 2. Eh malah diplot ke SDN Langkap 4. Selesai SMA maunya mondok. Atau IAIN? Gagal dua-duanya. Bahkan ke Unibang (sekarang UTM). STKIP PGRI Bangkalan alternatif terakhir. Tak ada pilihan lain ketika orang tua tak “mengizinkan”. Biaya. UGM? Juga. Saya lebih suka linguistik. Ternyata, beasiswa S2 guru bahasa Indonesia diarah-wajibkan masuk ilmu sastra.

Sejak masuk kuliah, saya terinspirasi untuk selalu membaca. Itu hal lain. Dulu saya rajin beli buku di pasar Minggu. Kami menyebutnya ahadhân. Lapak-lapak lesehan. Buku umum seperti kamus, rumus matematika, novel populer karya Fredy S. dan buku lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Tak masuk mata pelajaran atau suplemen kecuali kamus dan rumus. Pada masa kuliah ini saya menemukan tempat untuk mengeksplorasi ilmu. Saya lebih giat lagi. Tiga buku seminggu. Seingat saya. Ternyata, bisa. Mau apa lagi. Sebagian besar waktu kosong. Kecuali, tentunya, saat mengajar pagi hari.

Tentu tidak semua dibaca dimengerti. Teori jejak. Itu yang saya pegang. Memori yang tersembunyi sekalipun akan muncul kepermukaan jika ada pemantiknya. Seperti menimbun kata-kata, pernyataan-pernyataan, dan pemahaman yang tertunda. Selain fakta bahwa satu buku mendukung dan berkait-kelindan dengan buku yang lain. Asal, tentu saja masih dalam satu frame. Satu bingkai.

Oh ya. Ada lagi. Sosok Pak Suro. Dosen saya yang masih S1. Hampir semua. Dulu tak masalah. Pada prinsipnya saya berbeda dengan beliau. Tetap saja ada sesuatu dari beliau yang menginspirasi. Soal keburukan saya kembalikan pada Tuhan untuk menilai dan menanggapi. Atau menghukum? Yang jelas kedekatan. Seperti tak ada jarak. Mengobrol santai seperti teman. Tertawa lepas dalam gurauan. Bagusnya saya santri. Tak ada langka. Meskipun kata ini problematis. Saat di Barat mendebat guru dengan konsep yang bagus dianggap keunggulan, di sini itu tak sopan. Absurd bukan?

Satu lagi. Mokong. Dalam konteks positif. Dilakukannya semua yang dia suka. Bukan dari tekanan, bebas. Jika ingin mengkaji Madura dikumpulkannya semua buku yang mendukung. Jika ingin sesuatu dikejarnya. Tak peduli kata siapa. Ini yang saya suka. Orang lain selalu menjadi racun bahkan pemberat jalan hidup. Yang benar tapi tak jamak dibatalkan atas nama kata “Apa kata orang?”. Sopan santun yang picik, senyum yang menyimpan kebencian, ikut atas nama persahabatan terkesan mewakili satu kata. Munafik.

Narsis. Itu juga salah satunya. Ini bertolak belakang dengan saya. Paling tidak saya mencoba sedikit menirunya.

Jelas bukan? Move on, inspirasi, dan suka. Itu sebabnya. Bukan dendam. Selain tiga motif itu? Hanya Tuhan yang lebih tahu.

 

(Draf)

Continue reading SURO, SEJARAH, DAN DENDAM

23 Juni 2025

, ,

LEKSIKOGRAFI DAN KAMUS YANG TAK PERNAH SELESAI

 Muhri


Kamus Madura-Indonesia Kontemporer terbit pertama kali tahun 2014. Itu berdasarkan ISBN. Saya perbaiki pada 2016 dengan tambahan lema. Hanya sekitar 2500 lema atau entry. Tak banyak. Lalu saya lanjut untuk membuat edisi berikutnya. Sayangnya, bukan edisi baru yang saya susun tapi buku baru. Melanjutkan kamus 2014 tapi dengan bentuk format yang berbeda jauh. Rencananya saya terbirkan 2025 dengan judul Kamus Progresif Madura-Indonesia. Sudah saya cek similaritas (similarity check) dengan hasil 16% kesamaan dengan kamus 2014 yang saya unggah online di laman STKIP PGRI Bangkalan.

Kamus-kamus itu saya tulis mulai tahun 2010. Beberapa bulan setelah saya lulus S2 Ilmu Sastra FIB UGM Yogyakarta. Mengapa kamus? Mengapa bukan sastra? Mungkin itu pertanyaan yang muncul.

gambar dibuat dengan Ms Designer

Sebenarnya pada tahun yang sama saya juga menerbitkan Sejarah Ringkas Kesusastraan Indonesia. Sebuah buku ajar yang tebalnya kurang dari 80 halaman. Mengapa bisa dua dalam satu tahun? Sebenarnya itu ditulis selama lima tahun dengan cara iseng. Yah, jika sedang mood saja.

Oh ya… Maaf terdistraksi. Saya tidak akan menceritakan kamus itu. Saya ingin mengingat kembali sebuah babak dalam hidup saya terkait kamus. Antara 2003-2004 masa kuliah semester atas. Ada mata kuliah leksikografi. Pak Diding yang mengampu. Relasi kami tidak istimewa. Mungkin beliau telah lupa dengan saya. Saya juga tidak akan menceritakan apa pun yang buruk tentang beliau dalam pandangan saya. Inspirator yang mengenalkan pada kamus, seperti Pak Suro Wahono yang mengenalkan pada sejarah sastra. Dengan cara ekstrem dan tentu tidak komprehensif. Tentang sejarah sastra dan Pak Suro akan saya tulis dalam cerita yang berbeda.

Beliau, Pak Diding, tidak memberikan kuliah dalam bentuk teks atau konsep. Hanya menugaskan untuk menyiapkan teks bahasa Indonesia. Lalu meminta untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Madura. Setelah itu beliau meminta mahasiswa menyiapkan kertas berukuran 15x10 cm, lebar 15 & tinggi 10. Sebagai kartu data tentunya.

Kartu tersebut bagian kiri atas ditulis kata bahasa Madura pada teks sebagai lema. Di bawahnya agak ke tengah arti dalam bahasa Indonesia. Di bawah arti kalimat yang memuat lema tersebut. Jika ada kata yang sama pada kalimat lain bisa dianalisis kesamaan dan perbedaan artinya. Jika nuansa artinya berbeda maka ditulis di kartu yang berbeda. Demikian juga bentuk turunan ditulis dengan kartu yang berbeda. Hasil kartu data tersebut diurut berdasarkan abjad pada lema.

Oh iya… Ada yang lupa. Di bawah lema atau bentuk turunan ditulis simbol fonemik dengan diapit tanda garis miring (//). Fonemik, bukan fonetik. Tentu bingung mencari simbol itu di komputer. Bagusnya ada Mas Budi Rahman yang mengerti pengetikan. Itu pakai word versi lama sebelum 2003 dengan menu dan dropdown yang tidak sepraktis hari ini. Praktis yang mengetik Mas Budi. Saya cuma bantu. Maklum, SDM rendah.

Tugas selesai dalam bentuk buku dengan jilid lakban. Tebal sekitar 90 halaman tanpa bolak balik. Ukuran A5 dengan memotong Folio HVS menjadi dua. Diprin, bukan foto kopi. Yang lain sumbang dana. Rugi?

Sebuah keuntungan yang baru saya sadari hari ini. Saya menulis kamus dengan Ms Office yang lebih canggih. Seorang dosen menukas bahwa kamus bahasa Madura sudah ada. Tentu yang dimaksud karya Mas Adrian Pawitra.

Saya tidak ingin berdebat. Dalam tulisan ini saya ingin berargumen. Kamus Mas Adrian tidak menyajikan aspek-aspek tertentu dalam kamus. Tak mencantumkan kelas kata, terjemahan sering hanya sinonim. Selain itu kamus tersebut hanya mengambil atau menerjemah sebagian besar dari kamus H.N. Kiliaan yang dalam bahasa Belanda.

Satu hal yang terutama terlupa dan tidak tergambar dalam kamus Mas Adrian. Sebuah kamus yang hidup bernafas. Sebab selama manusia Madura masih menggunakan bahasa Madura, selama itu juga tidak ada kata finis. Karena itu ada kata “progresif” dalam kamus yang akan saya terbitkan. Tentu tidak selengkap karya Mas Adrian. Kamus itu sementara sekitar 9000 lema. Selisih 1000 lema dengan kamus yang disusun Mas Adrian.

Selain itu, kamus bukan hasil penelitian yang mensyaratkan novelty atau kebaruan. Jika ini dianggap salah, maka tidak akan ada kamus bahasa Inggris dari Cambridge, Oxford, Merriam-Webster, dsb. Apalagi, kamus ini akan terus saya kembangkan sampai deadline yang sebenarnya. Batas kematian. Ups! Maaf terlalu serius.

Wallahu a’lam bi al-sawab

 

(Teks ini, seperti cerita sebelumnya, hanya draf. Perbaikan akan dilakukan dalam versi cetak yang nanti akan diterbitkan dalam bentuk PDF atau mungkin print out.)

Continue reading LEKSIKOGRAFI DAN KAMUS YANG TAK PERNAH SELESAI

16 Juni 2025

,

KAMUS SINGKATAN DAN AKRONIM

Kamus ini ditulis untuk memberikan saluran bagi peneliti yang ketika memasukkan kutipan selalu dihadapkan pada, "Bukunya mana?", "Laman web tidak bisa dijadikan rujukan", dan pernyataan lain yang sebenarnya bisa dibantah. Akan tetapi relasi antara mahasiswa dan dosen tidak dalam posisi setara. Dosen seolah-olah selalu benar dan tidak bisa dibantah. Meskipun ada AI dosen tetap meminta referensi pakem. Apalagi ada dosen yang sangat anti dengan AI.


Buku ini saya gunakan sebagai alat bantu untuk memudahkan. Tentu tidak sempurna. Sebab, buku ini ditulis iseng di antara kesibukan sebagai dosen sekaligus mahasiswa pascasarjana. Pengguna dipersilakan mengkritik, memberi saran, dan respon lain untuk penyempurnaan kamus ini.

Oh iya... Kamus ini saya kemas dengan warna warni dan terkesan murahan. Buku ini sepenuhnya saya persembahkan untuk mahasiswa saya yang lebih suka menggulir layar hp dari pada membaca buku. Tidak buruk jika mereka membaca buku elektronik atau informasi berita. Sebab AI tidak bisa mengisi otak yang kosong. 

Unduh kamus di sini 

Selalu ikuti perkembangan dengan sesekali menekan link url tersebut. 


Continue reading KAMUS SINGKATAN DAN AKRONIM

09 Juni 2025

BLATÈR: ULASAN ASAL KATA

Kata blatèr terdengar tidak asing bagi orang Madura masa kini. Kata ini mengacu pada golongan orang yang disatukan melalui satu institusi yang disebut rèmoRemo adalah hajatan yang dilaksanakan untuk mengumpulkan uang yang dalam bentuk buwuh atau bhubu. Hajatan tersebut bisa apa saja: pernikahan, khitanan, atau to'-oto'. Namun kita tidak akan bicara tentang itu.

Tulisan ini akan hanya membicarakan kata. Orang Madura mengkonotasikan blatèr dengan orang-orang berani, budaya-budaya kekerasan, dan kebalikan dari santri. Keberanian kaum blater ditunjukkan dengan keberanian dan kesiapan untuk melakukan carok. Carok adalah pertarungan berhadapan antara dua pihak dengan menggunakan senjata tajam. Dengan demikian, tidak semua pembunuhan dengan senjata secara budaya disebut carok. Jika seseorang membunuh dengan menusuk atau menyerang dari belakang, tidak disebut carok. Ini disebut nyèlèp. Jika hanya hanya salah satu yang memegang senjata juga tidak disebut carok. Jika laki-laki membunuh perempuan, tidak disebut carok. Yah, carok dilakukan ketika kedua belah pihak dalam keadaan siap.     

Kesiapan tersebut ditunjukkan dengan budaya nyèkep, yaitu membawa senjata untuk jaga diri atau siap sedia. Kata dini dari bahasa Jawa sikep yang berarti 'sedia, siap, memegang'. Senjatanya pun hanya berupa senjata tajam, seperti clurit, pisau, parang, dan keris. Pertarungan atau pembunuhan dengan senjata api juga tidak disebut sebagai carok. 

Namun tahukah Anda bahwa kata blatèr berasal dari bahasa Jawa? Dalam bahasa Jawa blater artinya bisa bergaul dengan siapa saja atau mudah akrab. Bahasa kerennya supel. Kemungkinan ini berasal dari pranata yang disebut remo di atas. Ada pertautan makna antara blater dalam bahasa Madura dengan bahasa Jawa. Keterkaitan tersebut pada Remo. Karena ikut Remo maka orang blater memiliki banyak kenalan. Dengan kata lain memiliki banyak teman. Dengan kata lain pula memiliki pergaulan yang luas.

Continue reading BLATÈR: ULASAN ASAL KATA

02 Juni 2025

, ,

SAAT KAU TAK MENCINTAIKU LAGI: PUISI-PUISI AGUS ALAN KUSUMA

Sebagai sebuah karya yang telah terbit, buku Saat Kau Tak Mencintaiku Lagi karya Agus Alan Kusuma telah sempurna sebagai sajian. Sebagai konsumen, pembaca berhak “memakan” atau mengabaikannya. Tulisan ini hanya menyajikan kembali sesuatu yang telah mengisi ruang waktu dari bentang panjang ruang sastra Bangkalan. Mungkin karya-karya ini tidak pernah memperoleh momentumnya. Atau… Momentumnya telah berlalu?



Dengan seizin penulisnya, dihadirkan beberapa puisi yang dipilih dari puisi-puisi yang dimuat dalam buku tersebut.

 

1

 

Pelangi Cinta

 

Kau beri satu warna pelangi pada tanganku

Seperti buah stroberi berwarna merah

Dihiasi bintik-bintik hitam

Rasanya antara manis dan kecut

Bagaikan cintaku yang kecut

Yang katamu hanya manis di mulut

 

2

 

Layang-Layang dan Senja

 

Aku ingin bermain layang-layang

Bersamamu di bawah warna senja

Biarlah kita berdua menikmati paras keindahan itu

Saling menatap dan tersenyum

 

Tapi ketika aku bayangkan lagi

Tidak salah, kalau kita pada akhirnya

Saling menampar dan tertegun

 

Layang-layang turun tak bertemu angin

 

3

 

Jiwa yang Tak Menentu

 

Kumuak dengan semua ini

Hanya luka dan gelisah sembahyang dalam hati

Semua hanya kibulan cerita Romeo dan Juliet

Tak pernah usai, biarlah kupergi sejauh mungkin

Meninggalkan nama dan perjumpaan yang sebentar

 

4

 

Bungkam

 

Bisu, diam, dan gemetar

Itu yang kurasakan

Saat kau melintas di hadapanku

Aku seperti batu dan pepohonan

Yang tak bisa berbuat apa-apa

Selain melihat wajahmu

 

5

 

Zikir

 

Zikirmu bagaikan syair yang syahdu malam ini

Mewujudkan cerita tentang hidup

Syair itu halus sehalus sutra

Tapi getarannya sehangat petir tanpa hujan

Hingga semuanya redup dalam kegelapan

 

6

 

Melepas Luka

 

Kunikmati sore hari dengan hati hampa

Yang ditemani bunyi air laut dan angin laut

Yang menghantam dalam tubuh

Kulihat pemandangan yang begitu indah

Pohon-pohon berada di samping laut

Kera-kera bergelantungan di pepohonan

Aku tertawa dengan keadaan itu

Teringat kisah cinta yang bergantung

Entah akan dibawa ke mana

Cinta itu sebenarnya

Continue reading SAAT KAU TAK MENCINTAIKU LAGI: PUISI-PUISI AGUS ALAN KUSUMA

26 Mei 2025

, ,

MOMENTUM DAN KEABADIAN: CATATAN UNTUK PENYAIR SUDRA

Muhri[1]

 

Terbitnya buku Catatan Penyair Sudra yang memuat karya-karya Syarifuddin Dea saya sambut dengan gembira. Tak ada hubungan Istimewa. Bahkan, saya tidak memiliki relasi apa-apa. Kelahiran kembali karya sastrawan yang telah tiada perlu dirayakan. Istilahnya mencari momentum.

Tulisan ini sengaja saya tulis terlambat untuk memperpanjang momentum tersebut. Momentum? Apakah mungkin ada kesempatan momentum berikutnya? Bisakah karya sastra lama menelisik di antara karya-karya sastra baru?



Syarifuddin Dea merupakan penyair dari Bangkalan. Kiprahnya mulai 1960-an. Perannya tidak tercatat kecuali dalam lembaran-lembaran yang hanya dimiliki kalangan terbatas terutama keluarga. Bahkan, Shoim Anwar yang ditulisi surat oleh beliau tidak menulis nama beliau dalam buku Sejarah Sastra Indonesia yang disusunnya tahun 2012. Apakah itu berarti memang karya-karya ini tidak cukup berharga? Apakah kiprahnya dianggap kurang signifikan terhadap kesusastraan Indonesia?

Saya pribadi mengenal nama beliau saat kuliah S1 di STKIP PGRI Bangkalan. Beliau dihormati oleh semua seniman yang lebih muda. Dalam beberapa event saya mendengar suara beliau membacakan karyanya. Namun tetap saja saya tidak cukup jelas melihat wajah beliau dari sisi penonton. Ditambah, acara semacam ini selalu menyajikan panggung dengan pencahayaan temaram dan dilakukan waktu malam.

Saya lebih mengenal karya beliau saat melakukan penelitian sejarah sastra Bangkalan. Sebuah proyek penelitian bagi dosen pemula. Dalam pembacaan itu dapat dinyatakan bahwa karya-karya itu adalah karya-karya yang baik dan mapan. Karya-karya yang benar-benar matang. Layak disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan dari generasi 70/80-an yang dikenal secara nasional. Sayangnya, karya-karya itu tetap tersimpan dalam koleksi pribadi. Semakin lama tidak dipublikasi, akan semakin lemah relasi dan relevansi karya dengan generasi terkini.

Karya yang berharga bisa jadi lahir di saat tidak tepat. Mereka lahir di luar trend pada masanya sehingga tidak “meledak” dalam bacaan Masyarakat. Serupa dengan Chairil yang meledakkan karyanya setelah meninggal. Dan, sosok dibalik ledakan itu adalah H.B. Jassin. Karya Chairil yang dianggap merusak tatanan sastra, bahkan oleh kalangan guru, meledak di tangan Jassin yang memiliki otoritas sebagai dosen sastra di UI. Jassin memiliki pengaruh pada ilmuwan-ilmuwan sastra yang pernah menjadi “muridnya”. Ada satu masa dalam hidup saya ketika saya mengenal penyair hanya Chairil dan puisi “Aku” menjadi puisi yang paling saya ingat. Tentu sebelum saya membaca karya-karya lain.

Tidak hanya massa, momentum memerlukan komponen kecepatan dan waktu. Dengan kecepatan dan waktu yang tepat ledakan kekuatan itu bisa maksimal. Getarannya akan jauh dan menggema beberapa saat. Kemudian tenang. Namun, dalam ketenangan itu masih tersisa rasa, emosi, kesan terhadap ledakan. Yah, memori tentang ledakan. Apakah karya syarifuddin sedang menunggu momentum atau momentum itu tak akan pernah ada?

Jika pun momentum itu tidak pernah ada, tetap saja ada piranti yang bisa mengabadikan karya. Kita sebut saja “museumisasi”. Tidak perlu bahas konsepsi. Cukup pahami dari sisi pameran atau display sisa masa lalu. Mungkin karya itu tetap dalam kesepian kotak kaca. Atau ada momentum lain yang menariknya kembali ke arena, seperti buku Aku karya Sjuman Djaya. Buku skenario film ini sepertinya tidak akan pernah dilayarkan. Namun ia tertarik paksa oleh skenario film Ada Apa dengan Cinta? yang juga menarik paksa Chairil ke arena. Penonton remaja yang pada saat itu mungkin tidak mengenal Chairil Anwar, apa lagi Sjuman Jaya, paling tidak memendam tanda tanya buku yang dipegang oleh Rangga. Buku tersebut menjadi bagian dari benang merah yang menautkan peristiwa percintaan Cinta dan Rangga.

Mungkin Syarifuddin Dea tidak setingkat dengan Chairil yang menjadi voorloper dalam pembaharuan konvensi sastra. beliau juga tidak merevitalisasi mantra menjadi puisi kontemporer seperti Sutardji Calzoum Bachri. Ia tidak setenar itu. Tapi, kegilaannya pada sastra dan teater menginspirasi generasi setelahnya. Perannya dalam Dewan Kesenian Bangkalan menghadirkan momen-momen seni. Bahkan, penentangan terhadap pandangannya melahirkan DKBP pada paruh pertama 2000-an. Dewan Kesenian Bangkalan Partikelir yang bersinonim dengan swasta. Lawan dari DKB yang di-SK bupati namun tetap minim bantuan pembiayaan. Tak perlu dipertanyakan siapa yang benar, yang lebih baik, apalagi konsepsi yang lebih pas. Konflik tersebut jelas menghadirkan dua sisi event. Saling menyerang, menghujat, bahkan menghina dengan karya tetapi melahirkan karya. Ketegangan konfrontatif yang melahirkan antitesis, menolak sama, dan mengeksposnya secara terbuka. Bukankah ini lebih baik dari pada ketenangan yang hampa?



[1]Pembaca dan penikmat sastra.

Continue reading MOMENTUM DAN KEABADIAN: CATATAN UNTUK PENYAIR SUDRA