Muhri
STKIP PGRI Bangkalan
Pagar Batin: Jati Diri Sastra Bangkalan
Sastra Indonesia modern Bangkalan telah ada
sejak 1960-an. Pelopornya R. Syarifuddin Dea yang dikenal oleh sastrawan
Bangkalan dengan nama panggilan Babe. Penulis lain adalah Pak Narto dengan nama
pena Rasnavastara.[2]
Generasi pertama ini agak sulit ditelusuri mengingat pada generasi ini minim
arsip dan publikasi.
Sastra Bangkalan sebagian besar tidak ditulis
oleh kaum santri. Hal ini berbeda dengan sastra Indonesia di Sumenep. Seniman
Bangkalan awal sebagian besar dari kaum ningrat yang memiliki akses pada
pendidikan formal. Generasi berikutnya dari sekolah-sekolah negeri yang
memiliki komunitas seni. Komunitas sekolah ini menghasilkan tokoh-tokoh
generasi kedua seperti Ribut Rahmat Jaya, Sunar Dwigjo Wahono, Sonny T.
Atmosentono, R. Timur Budi Raja, M. Helmy Prasetya, dsb. Kiprah generasi kedua
ini pada masa sebelum 2000, kira-kira 1990-an.
Meski-sudah aktif sebelum tahun 2000-an,
hampir semua penerbitan karya dilakukan setelah tahun 2000. Karya yang terbit
sebelum itu adalah Anak Beranak (R. Syarifuddin Dea dan R. Timur Budi
Raja, 1998) dan Nyanyian Tanah Kering (Antologi Bersama, 1999)[3].
Pelacakan karya bisa dilakukan dengan melihat angka tahun misalnya pada puisi
yang dicantumkan dalam buku.
Generasi ketiga lahir di perguruan tinggi,
terutama di STKIP PGRI Bangkalan. Generasi ketiga melahirkan penulis-penulis
seperti Rozekki, Anwar Sadat, Muzammil Frasdia, Muhlis Alfirmany, Eko Sabto
Utomo, Andi Moe, dsb. Jika generasi sebelumnya, sebagian besar berasal dari
sekitar kota bangkalan, generasi ketiga ini berasal dari berbagai penjuru
kabupaten Bangkalan.
Pada generasi ketiga ini, ada sastrawan
Bangkalan yang secara sejarah agak berbeda latar belakang. Salah satunya Ahmad
Faishal (Acong). Acong memang berasal dari kabupaten Bangkalan. Ia menempuh
pendidikan sampai setingkat SMA di Bangkalan. Akan tetapi, dalam bersastra, ia berproses
di Surabaya. Ia pernah menjadi ketua Teater Gapus dari kampus Unair Surabaya.
Di sisi lain ada Buyung Pambudi. Bermula dari
jurnalis JTV yang ditugaskan di Madura, BP berasal dari Pati Jawa Tengah. Bukan
orang Madura, tetapi mulai menulis sastra di Madura. Sebenarnya, kiprah BP
sudah sejak tahun 2000-an. Namun dosen di STKIP PGRI Bangkalan ini menulis buku
pertamanya pada 2016. Tulisan sastra pertama dosen yang berbahasa Madura ini
berupa memoar, based on true story, berjudul Cinta di Kaki Bukit
Baiyun[4]. Buku
ini bercerita tentang perjalanan penulis mengantar istrinya berobat ke negara
China.
Generasi keempat diisi oleh penulis-penulis
mahasiswa. Sebagian besar menulis hanya sebagai ekspresi eksistensi diri. Bukan
sebagai hobi apalagi sebagai jalan hidup. Karena kemudahan publikasi, generasi
ini paling banyak menghasilkan buku sastra. Hal ini ditunjukkan dengan
terbitnya 45 buku puisi pada 2016 dan 37 buku puisi pada 2017. Buku-buku
tersebut diterbitkan dalam euforia Festival Puisi Bangkalan pertama dan kedua.
Pagar Diri: Kekuatan Sastra Bangkalan
Menilik penjelasan sebelumnya, masa depan
kesusastraan Bangkalan masih bisa diharapkan. Sejak sastra Bangkalan ada dan
berkembang, tidak kurang dari 40-an penulis telah menyumbangkan ide dalam
bentuk tulisan. Sejak 1998 sampai hari ini selalu ada karya yang terbit pada
tiap tahun sampai 2022. Pada 2023 memang tidak tercatat ada karya yang terbit.
Namun kosongnya catatan tersebut tidak menunjukkan bahwa tidak ada karya yang
terbit pada tahun tersebut. Data yang saya sajikan pada chart ini hanya data
dari komunitas Bangkalan, terutama KML, Komunitas Bawah Arus, dan Kopi Lembah.
Data ini belum memasukkan sumber dari Kalam Literasi Kwanyar (KLK) yang tetap
aktif sampai hari ini. Sebagian besar karya KLK dalam bentuk prosa
Berikut disajikan diagram terbitan buku sejak
1960-an sampai dengan 2024. Daftar lengkap sastrawan Bangkalan dan karya-karya
mereka bisa dibaca dalam Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan.
Jumlah terbitan dari 1966-2024
Diagram tersebut menunjukkan kesusastraan
Bangkalan terus berlangsung. Perkembangan produksi sastra, meski fluktuatif,
juga terus berjalan. Kepesertaan dalam event sastra juga terus terjadi dan
mengindikasikan kepenulisan sastra di Bangkalan terus berlangsung. Terakhir
Rozekki menjadi juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala HB
Jassin 2024. Berikut daftar prestasi individu penulis Bangkalan.
2024 Rozekki
“Kampung yang Dikuasai Sapi” Juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional
Piala HB Jassin
2023 Eko
Sabto Utomo Burdah nomine sayembara buku puisi tunggal Kanjeng Nabi
Muhammad SAW yang diadakan oleh penerbit DIVA Press
2017 Rozekki
Fragmen Pasar Burung 13 Naskah Teater Terpilih Rawayan Award 2017 (tanpa
pemenang)
2016 Joko
Sucipto Klonnong Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival
(UWRF) 2016
2016 Suryadi
Arfa 10 besar dalam seleksi antologi nasional Klungkung: Tanah Tua, Tanah
Cinta[5]
2013 Muzammil
Frasdia Pilkada 10 Besar naskah drama terbaik versi Federasi Teater
Indonesia di Taman Ismail Marzuki
2004 Rozekki
Lomba Menulis Naskah Monolog Budaya Antikorupsi Tempo
Daftar tersebut hanya menyajikan sebagian
kecil dari keaktivan penulis Bangkalan dalam peristiwa-peristiwa seni. Meski
bukan menjadi tolok ukur utama, sistem seleksi ini menunjukkan bahwa sastrawan
Bangkalan diakui dalam dunia sastra di Indonesia. Tentunya, kualitas sastra
tidak diukur dari menang atau tidaknya sebuah karya dalam sabuah event
kompetisi.
Pagar Luar: Potensi Jangka Pendek
Dalam perjalanan panjang kesusastraan
Bangkalan, kekuatan sastra Bangkalan pada jenis puisi. Sebagian besar masih
bercorak liris. Hanya penulis puisi yang sudah matang yang mengeksplorari corak
naratif dan dramatik. Unsur tema masih seputar filosofi hidup, ungkapan
keindahan yang romantik, dan pseudoetnografi dari buku-buku etnografi Madura
yang cenderung generalistik. Tema cinta masih dominan pada dekade 2000-an. Tema
cinta mulai berkurang dan sedikit meluas pada hal-hal lain pada dekade setelah
2010. Tema politik juga seperti menjadi tabu yang seolah “haram” dalam puisi.
Ditinjau dari publikasi, terdapat banyak
publikasi yang bisa dijangkau untuk saat ini. Penerbitan lokal yang bisa
diakses dengan biaya relatif murah adalah STKIP PGRI Bangkalan press dan
penerbit Komunitas Masyarakat Lumpur. Dari kedua penerbit, KML hari ini masih
dalam pembenahan sehingga belum bisa menerima penerbitan buku.
Terbitan berkala belum tersedia dengan baik.
Terbitan cetak yang pernah ada Buletin Komunitas Masyarakat Lumpur. Tidak
ada terbitan berkala cetak dari komunitas lain. Buletin ini hanya terbit tiga
kali. Dari pertanyaan akrab pada pengurus, masalah terbesar pada pengelola.
Untuk KML yang waktu itu memiliki pengurus dalam jumlah besar, motor penggerak
buletin hanya Joko Sucipto. Selain itu, kontributor dan skema rubrik juga sulit
dikembangkan. Dari dua terbitan, rubrik buletin cenderung berubah.
Media daring yang tersedia juga tidak banyak.
Terutama media yang cenderung terstruktur dengan baik. Media YouTube, misalnya,
yang tersedia hanya dari Komunitas Masyarakat Lumpur. Yang lain menggunakan
nama pribadi seperti Sanggar Lukis Lebur memakai nama pendirinya yaitu Anwar
Sadat. Demikian Komunitas Bawah Arus tidak punya kanal YouTube. Yang ada hanya
kanal bernama Timur Budi Raja.
Media daring yang berbentuk web juga tidak
banyak. Salah satunya ruangbudaya.com yang saya dirikan. KML pernah membuat
media web dan tidak dilanjutkan lumpurkomunitasmasyarakat.blogspot.com. Setahu saya, situs ini dibuat oleh Suryadi
Arfa pada 2016. Tidak ada unggahan pada web blog ini. Hanya ada sebuah laman
berisi profil.
Pada media sosial facebook, hampir semua
komunitas memiliki akun. Akun Kalam Literasi Kwanyar bernama Klk Kalam Literasi
Kwanyar. Akun Komunitas Kopi Lembah bernama Paguyuban Seni Kopi Lembach. Akun
ini juga memiliki satu laman facebook bernama Kopi Lembah yang post terakhirnya
tahun 2021. Yang terkuat di antara semua adalah Komunitas Masyarakat Lumpur.
Nama akun Masyarakat Lumpur, tanpa komunitas.
Meskipun keterbacaan media sosial penting,
keamanan data dan keberlangsungan tetap dimiliki oleh situs web. Ada banyak
alasan. Pertama struktur unggahan yang lebih mudah ditelusuri dengan widget
kategori dan menu. Kemampuan menyimpan file digital atau pengutipan dari url
tertentu. Ketersediaan di mesin pencari web juga menjadi keunggulan situs web
dibandingkan dengan sosial media. Yang terpenting dari semua adalah kelayakan
dalam sitasi keilmuan. Apalagi jika komunitas tersebut menyediakan terbitan
berkala dalam bentuk majalah, tabloid, buletin, atau terbitan berupa buku.
Tidak harus ber-ISBN.
Pagar Kampung: Potensi Jangka Panjang.
Selain kurangnya publikasi konvensional, perlu
juga disampaikan bahwa masa depan sastra tidak bisa mengabaikan aspek digital.
Aspek ini dalam banyak komunitas dianggap tidak penting dan kurang relevan.
Sebagai seni digital memang dianggap tidak “tulen”, tradisi populer, tidak mendukung
peradaban yang baik, dsb. namun, Pada sisi konservasi, digitalisasi menjadi
aspek kunci dari pengarsipan.
Selain itu, sastra juga harus mengikuti
perkembangan pembacanya agar tidak terasing dari dunia nyata. Aplikasi digital
seperti Wattpad misalnya tetap bisa menjadi media untuk menulis sastra serius.
Meski mengindikasikan popularisme, media seperti wattpad tetap tidak menolak
sastra serius. Salah satu yang sukses dengan media daring adalah Agnes Davonar
yang memulai debutnya di friendster lalu blog pribadi. Karya monumentalnya Surat
Kecil Untuk Tuhan.[6]
Selain itu, pengabadian selama ini hanya
dilakukan dengan media ilmiah dalam bentuk karya ilmiah mahasiswa berupa
skripsi, tesis, dan disertasi, penelitian ilmiah dalam jurnal penelitian, dan
bentuk lain yang memiliki jarak signifikan dengan pembaca umum. Salah satu
tulisan penting yang mendekatkan adalah terbitan-terbitan digital yang bisa
diakses dengan mudah. Fiksi fan Indonesia misalnya bisa menjadi alternatif
pengabadian karya. Jika musik dinyanyikan kembali, sastra ditulis kembali oleh
penggemarnya. Dengan tidak mengabaikan hak cipta, fiksi fan atau fiksi
penggemar bisa menjadi salah satu pilihan untuk belajar menulis.
Akhirnya, sebuah daya hidup akan menua ketika
tidak mengikuti perkembangan sumber kehidupan. Digitalisasi, publikasi
multimedia, trasformasi karya dapat menjadi penopang yang menguatkan dan
mensolidkan semua bangunan inti dari sastra dan kesenian. Tanpa itu, sebagus
apa pun sebuah karya akan aus dimakan zaman. Yang terpenting regenerasi yang
baik dan maju dan di sisi lain produksi, reproduksi, dan konservasi.
Daftar Pustaka
Muhri, and Eli Masnawati. Historiografi Ringkas
Kesusastraan Bangkalan. Bangkalan: Komunitas Masyarakat Lumpur, 2018.
Muhri,
Muhri. “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah
Sastra.” Atavisme 20, no. 2 (December 30, 2017): 168.
https://doi.org/10.24257/atavisme.v20i2.305.168-180.
Pambudi,
Buyung. Cinta Di Kaki Bukit Baiyun. Bangkalan: YPLP-PT PGRI Bangkalan,
2016.
“Peluncuran
Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.” Berita Bali, October 28, 2016.
https://www.beritabali.com/berita/201610280004/peluncuran-buku-puisi-klungkung-tanah-tua-tanah-cinta.
“Profil
Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan | Kumparan.Com.”
Kumparan, 2020.
https://kumparan.com/berita-hari-ini/profil-agnes-davonar-yang-melejit-lewat-buku-surat-kecil-untuk-tuhan-1udyyxD3rgR.
[1] Terjemahan paghâr perna tajuk acara
Komunitas Masyarakat Lumpur. Makalah ini disampaikan pada 12 Oktober 2024
[2] Muhri, “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah
Sastra.”
[3] Muhri and Masnawati, Historiografi
Ringkas Kesusastraan Bangkalan, 16.
[4] Pambudi, Cinta Di Kaki Bukit Baiyun.
[5] “Peluncuran Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.”
[6] “Profil Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan |
Kumparan.Com.”