01 April 2025

, ,

HARI RAYA TAK HANYA DUA: TENTANG ONGGHÂ-TORON DAN NASE’ SAPEṬṬOK

 Hari ini Senin tanggal 31 Maret 2025. Tellasân pètra. ‘Īdul fitr. Bukan hari raya idul fitri. Sebab idul itu sudah berarti hari raya. Tapi apa benar tellasân itu hari raya? Jelas bukan. Tellasân berasal dari kata telas yang berarti ‘habis’. Tellasân maksudnya sehabis bulan puasa. Tellasân pètra bisa dibenarkan sebab bisa berarti ‘seusai zakat fitrah’.

Dengan maksud sama orang Jawa menyebut dengan kata bakda dengan a terakhir dibaca [ɔ]. Artinya ‘setelah’. Diambil dari bahasa Arab ba’da. Lebaran dengan arti ‘īd tidak ada dalam kosa kata Madura. Namun ada kata lebbhâr yang berarti ‘selesai’.

gambar dari microsoft designer

‘Īdul aḍḥa? Di Madura disebut tellasân kurban. Nama lainnya tellasân rèrajâ. Rèrajâ merupakan singkatan dari arè rajâ ‘hari besar’. Mungkin diadopsi dari bulan jawa ke 12 Besar. Hari rayanya disebut besaran. Sama dengan sebelumnya, tellasan ini merayakan puasa sunnah 9 hari bulan Zulhijah.

Selain ‘īdul fitr dan ‘īdul aḍḥa ada tellasân topa’. Orang Jawa menyebutnya kupatan. Tellasân topa’ secara harfiah berarti ‘habis ketupat’. Nama lainnya tellasân pètto atau tongarè. Dirunut dari unsur idiom berarti ada yang habis, yaitu habis puasa syawal 6 hari. Dimulai tanggal 2 dan berakhir tanggal 7. Jika tellasân pètra merayakan puasa ramadan tellasân topa’ merayakan puasa sunah bulan syawal. Salat? Tentu tidak ada. Sebab tellasân topa’ murni budaya.

‘Īdul fitr diisi dengan silaturahmi bermaaf-maafan. Tradisi ini dilakukan dengan satu-satu mengunjungi kediaman sanak saudara. Biasanya yang muda mengunjungi yang lebih tua atau berkumpul dirumah orang paling tua misalnya kakek-nenek atau buyut. Untuk ini, ada tradisi mudik atau pulang kampung. Orang Madura dulu menyebutnya dengan toron ‘turun’. Di sisi lain berangkat kembali ke perantauan disebut ongghâ ‘naik’.

Selain itu ada tradisi ter-ater. Secara harfiah bersinonim dengan bahasa Indonesia *antar-antar atau mengantar sesuatu. Tradisi ini dilakukan dengan saling antar makanan kepada sanak saudara. Tujuannya bukan bertukar makanan seperti pandangan sinis sedikit kalangan. Tujuan utamanya adalah silaturahmi dan ter-ater merupakan medianya. Yang mengantar biasanya yang muda ke yang lebih tua. Tujuan lainnya adalah mengenalkan anak muda pada sanak saudaranya. Isi dari ter-ater sebenarnya sangat sederhana yaitu nasi dan lauk, biasanya ayam. Sehingga ketika sanak saudara terasa jauh karena tidak saling mengunjungi orang madura menyebutnya èlang nasè’ sapeṭṭok ‘hilang nasi se-peṭṭok’. Sapeṭṭok adalah ukuran nasi yang dipadatkan seukuran pengangan dua tangan.

‘Īdul aḍḥa tidak terlalu istimewa di Madura. Tidak ada tradisi khusus yang menyebabkan perantauan yang agak jauh tidak pulang mudik. Namun, ketika tingkat ekonomi makin baik, ‘īdul aḍḥa diisi dengan menyembelih hewan qurban. Dulu hanya dilakukan di masjid. Sekarang, ada yang melakukannya di rumah dengan membayar tukang sembelih dan potong daging qurban.

Tellasân topa’? Sebagian besar diisi dengan kegiatan rekreatif. Ada juga tradisi-tradisi setempat. Di Kamal, kabupaten Bangkalan, misalnya, melakukan dengan naik perahu ke tengah laut  (Patoni 2024). Di beberapa daerah ada yang membuat makanan khusus misalnya lepet.

Rujukan

Patoni. 2024. “Tradisi Warga Bangkalan Saat Lebaran Ketupat: Naik Perahu Ke Tengah Laut.” Nu.or.Id. Retrieved April 1, 2025 (https://nu.or.id/jatim/tradisi-warga-bangkalan-saat-lebaran-ketupat-naik-perahu-ke-tengah-laut-Nw6OJ).
Continue reading HARI RAYA TAK HANYA DUA: TENTANG ONGGHÂ-TORON DAN NASE’ SAPEṬṬOK

28 Maret 2025

KIRIM TULISAN

 

Ruang Budaya adalah situs web yang dikelola dengan sederhana. Namun, kami ingin berkembang dan memberi kontribusi pada bangsa dan negara. Untuk itu, kami mengharap kontribusi tulisan untuk pengembangan situs ini.

Bagi saudara-saudari yang memiliki tulisan berkaitan dengan budaya yaitu bahasa, sastra, adat-istiadat, upacara-upacara, dsb dan hendak mempublikasikannya, silakan kirim ke email majalahruangbudaya@gmail.com. Sertakan nama dan nomor gopay di bagian bawah tulisan. Honorarium untuk tulisan yang kami muat, kami bayar sesuai kemampuan kami.

Continue reading KIRIM TULISAN

22 Maret 2025

, ,

SYAIUN: SESUATU ITU BERWUJUD MAKANAN

 Puasa Ramadan dengan segala nuansanya menjadi sangat istimewa. Amal ibadah berupa salat tarawih, zakat, sedekah, dan sebagainya dilipat gandakan pahalanya. Ya, sayang itu tak terlihat kasat mata. Yang jelas ada fenomena baju baru hari raya, opor ayam, uang jajan, dan makanan berbuka yang menggugah selera. Bagi anak kecil ini tentu istimewa meski di sisi lain membuat orang tua sedikit sakit kepala.

Bagi orang dewasa, mudik media silaturahmi dan menceritakan perantauan. Sebagian untuk unjuk kesuksesan. Ada yang bawa mobil cc besar. Kita tak boleh bersangka itu sewa. Baik sangka saja. Riuh saling nilai baju baru selesai salat id dan mukena masuk lipatan sajadah. Sedekah tahunan ajang unjuk kesuksesan. Hari lain? Lain cerita.

Tapi... biarlah. Itu bukan ajaran agama. Itu cara pikir. Kali ini kita cerita budaya. Darusân. Akhiran -an sering bermakna budaya islami seperti yâsinan, sabellâsân, manaqibhân, dsb. Tak relevan disebut bid’ah sebab ini budaya. Bukan ibadah, seperti tellasân topa’ atau kupatan yang merupakan hari raya untuk enam hari puasa syawal. Isinya hanya syukur soal hati. Seperti juga tahlilan yang sekarang sering diisi main HP oleh sebagian generasi mudanya. He he he...

Darusân singkatan dari tadārus ‘saling belajar’. Berasal dari akar dal, ra’, dan sin. Awalnya saling. Lama-lama jadi ajang unjuk kepintaran baca. Awalnya saling meng(k)oreksi. Lama-lama saling menjatuhkan. Akhirnya darusan beralih menjadi baca quran secara estafet. Tapi toh itu tak masalah. Daripada tidak baca quran baik dalam ramadan maupun di luar.

Menarik? Tidak? Sudah biasa? Baik kita pindah ke makanan saja. Tapi, masih dalam lingkup darusân. Syaiun.

Bukankah syaiun itu berarti sesuatu? Di desa saya syaiun adalah suguhan yang diberikan suka rela oleh anggota masyarakat. Wujudnya bisa apa saja. Gorengan, lemper, atau bahkan hidangan makan seperti nasi, bubur, dsb. Tentu saja pasti ada kopi. Tapi, mengapa syaiun? Apa orang kampung saya begitu fanatik dengan bahasa Arab? Atau apa itu nama yang lebih islami daripada nama yang memakai bahasa lokal? Atau... ada ustaz atau ulama yang segan menyatakan ada makanan sebab kesannya bu’-tabu’ân? Syaiun berperan sebagai eufemisme untuk makanan? Wallahu a’lam.

Yang jelas, syaiun menemani kami untuk baca Quran sepanjang malam. Tentu bagi yang tidak sekolah paginya. Sebelum saya tutup, saya ingin menjelaskan kata bu’-tabu’ân. Kata ini berasal dari tabu’ yang berarti perut. Bu’-tabu’ân adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan guru atau pemangku yang suka meminta makanan dengan sindiran atau secara langsung. Tentu umat atau santri terpaksa memberikan meski berat hati karena segan. Ini berlaku juga untuk ulama atau ustaz yang mendatangi salah satu undangan dari beberapa dengan pertimbangan nasi berkat yang paling baik.

Continue reading SYAIUN: SESUATU ITU BERWUJUD MAKANAN

03 Maret 2025

, , ,

APÉDÉ DAN DAMRI: PEMAHAMAN PERLU WAKTU

Saya sudah lupa setiap hari apa. Kami mengikuti pelajaran olah raga pagi-pagi buta. Biasanya kami berangkat setelah subuh. Kami menyebutnya PD. Apédé kata kerja yang bersinonim dengan berolah raga. Dengan kaos olah raga dan celana pendek tanpa tas. Sepatu? Jangan tanya. Sebagian besar kami tak punya. Kepala sekolah dasar saya Pak Sayyadi namanya. Beliau hanya mewajibkan topi dan dasi untuk seragam. Kata beliau sepatu mahal dan tidak bisa memaksa. Saya? Bapak selalu membelikannya. Yang saya ingat Rieker, merek sepatu yang populer 1990-an. Urusan sekolah prioritas bagi orang tua saya. Uang saku? Pelit. Eh salah. Irit.


Olah raga selalu dimulai dengan lari keliling lapangan. Lalu senam dipimpin oleh guru olah raga. Guru olah ragaku Bu Dewi namanya. Wajahnya? Samar-samar dalam ingatan. Yang paling saya ingat hukuman beliau. Combel. Mencubit agak besar pada bagian dada. Tentu untuk siswa laki-laki. Jangan tanya sakitnya. Bahkan sering ada memar kehijauan. Lapor orang tua? Dapat bonus tambahan. Omelan.

Acara dilanjutkan dengan permainan. Biasanya bola untuk siswa laki-laki dan lompat tali untuk perempuan. Jangan tanya aturan. Yang penting gembira. Olah raga selesai kira-kira pukul 7.30 bersamaan dengan siswa kelas lain yang mulai berdatangan. Kami masuk pukul 7.30, bukan pukul 7. Kami pulang dan kembali lagi pukul 9.30.

Terus? He he... Cerita ini tentang PD. Apa itu? Singkatan ini kembali populer saat saya di sekolah menengah. Entah menengah atas apa bawah. Populer bersamaan dengan sponsor deodoran untuk ketiak. Percaya diri. Percaya diri? Logika saya menolak. Apa hubungannya dengan oleh raga? Kok tidak nyambung?

Waktu pun terus berlalu. Masa kuliah kulalui. S1 lalu lanjut S2. Entah kapan saya periksa dalam KBBI edisi IV. Ada singkatan pada bagian belakang. PD? Bukan. Dalam gabut terlintas kata Damri. Bis kota jurusan Kamal-Burneh. Suramadu belum ada waktu itu.

Damri? Apa hubungan bis dan olah raga? Kita lanjut dulu ya? Damri rupanya akronim dari Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia. Sudah bisa menghubungkan? Perhatikan D pada Damri. Ternyata itu J dalam ejaan van Ophuijsen. Dan PD? Pendidikan Djasmani dengan menggunakan ejaan Soewandi. Dari mana kami dengar kata apédé? Dari teguran orang tua ketika kami tidur larut. Cong, ayo tèḍung. Lagghu’ apéḍé. Tako’ kasiyangan. ‘Cong, ayo tidur. Besok (pelajaran) olah raga. Takut kesiangan.’

Continue reading APÉDÉ DAN DAMRI: PEMAHAMAN PERLU WAKTU

24 Februari 2025

,

NYOLOK SAMA DENGAN OUTSIDER

 Nyolok? Bahasa mana itu? Biarlah saya cerita. Tentu jangan berkesimpulan bahwa cerita ini benar semua. Memori itu absurd. Bisa terdistorsi antara fakta lama dan imajinasi. Tapi, sudahlah… percaya atau tidak saya akan tetap bercerita.

Pengalaman mencari ilmu yang paling dominan dalam memori, tentu, di Pondok Pesantren Darul Hikmah. Saya tidak pernah mukim di pondok. Hanya berangkat sebelum Maghrib, pulang pagi pukul 7 istiwa, untuk balik sekolah formal pada pukul 8 istiwa. Pulang pukul 12 istiwa menjelang zuhur. Saya sudah lupa kapan itu dimulai. Seingat saya tsanawiyah kelas dua awal.



Semua pengajian saya ikuti sama dengan santri yang mukim di pondok. Hanya pengajian setelah asar saja yang tidak saya ikuti. Secara keseluruhan 3/4 waktu saya di pesantren. Senang? Mulanya. Sampai… Saya merasa bosan. Sia-sia. Apa yang saya ikuti tidak masuk sama sekali ke kepala. Atau… mungkin perasaan saya saja.

Dalam kebosanan itu ada sebuah jalur alternatif. Bahasa Inggris. Saya sudah lupa kapan tepatnya dan bagaimana mulanya. Yang jelas kami berempat ikut kursus subuh di EQC. Lembaga ini telah saya ceritakan pada cerita yang lain. Melalui buyut saya yang masih ada hubungan famili dengan Mi’, sebutan untuk ibu haji singkatan dari ummi. Saya ikut selama kurang lebih satu setengah tahun. Sebutan untuk kami adalah outsider. Kata ini berkonteks siswa yang tidak mondok yang bisa keluar kapan saja. Demikian juga masuknya.

Kesadaran muncul untuk mengaji lagi saat semester genap SMU kelas satu. Dengan berbekal gramatik bahasa Inggris untuk diperbandingkan, ternyata nahwu itu mudah. Bahasa kerennya metode kontrastif. Baru saya ketahui setelah kuliah S2 karena sering mengajar linguistik. Padahal, S2 ilmu sastra. Mungkin juga sebab sering menulis bahasa Madura.

Pada periode kedua ini merupakan periode mengaji paling panjang. Saya mengaji di pesantren sampai anak saya lahir. Paling tidak hataman tiap bulan Ramadan. Hataman sendiri mengaji hanya untuk memberi makna. Bahasa Maduranya nyasa’.

Nyolok? Ngaji ke pesantren tanpa mondok. Dan outsider dalam cerita saya bersinonim dengan nyolok. Nyolok sendiri berasal dari sejenis obor yang bernama colok. Nyolok artinya berjalan atau bepergian menggunakan penerangan colok atau obor. Nyolok kemudian menjadi kata tersendiri yang berarti ngaji ke pesantren pada malam hari. Siangnya tidak di pesantren yang membedakan dengan santri pondok yang siang malam di pesantren.
Continue reading NYOLOK SAMA DENGAN OUTSIDER

10 Februari 2025

, ,

TELLO’ TELLO’ SAPOLO BHIRU DONGKER (MADURA PUN BERBAHASA “BELANDA”)

 

Saya yakin Anda yang seumuran dengan saya tahu maksud judul tersebut? Itu adalah hp Nokia yang populer pada awal dekade 2000-an.

Saya membeli HP pertama saya saat semester lima atau enam. Entahlah. Yang jelas bukan semester empat. Harganya pun sudah lupa. Seingat saya antara 300-500 ribu Rupiah. Second hand asal Malaysia. Warnanya biru dongker. Layar monochrome, tentu tanpa kamera. Itu saja sudah istimewa. Pada waktunya tentu saja.



Kartu sim pertama XL. Harga 50 ribu isi pulsa 25 ribu. Biaya sms (short message service, layanan pesan singkat) 350 rupiah sekali kirim dangan jumlah karakter terbatas. Biaya telepon 2000 per menit. Tentu dipakai seperlunya. Harga pulsa tidak ramah kantong mahasiswa meski sambil berkerja sebagai honorer swasta. Rp 128.000 sebulan hanya cukup bayar kuliah 50 ribu, transportasi, keperluan mandi, dan pulsa. Makan masih numpang orang tua.

Biarlah... Kita abaikan kisah mengharukan itu. Saya lanjutkan dengan cerita Nokia 3310. Tidak sama dengan penyebutan internasionalnya, di Madura handphone ini di sebut tello’ tello sapolo ‘tiga tiga sepuluh’. Dalam bahasa Inggris Nokia thirty three ten atau 33-10. Jika mau konsisten bisa dibaca “tiga ribu tiga ratus sepuluh” atau 3310. Sayangnya, angka itu bukan jumlah. Mungkin “tiga puluh tiga sepuluh” atau 33-10. Bisa juga “tiga tiga satu kosong” atau 3-3-1-0. Orang Madura tak memilih ketiganya. Mereka menyebut hp ini Nokia tello’ tello’ sapolo atau 3-3-10. Campuran tidak padu, kan?

Bhiru dongker? Bhiru dalam konteks ini adalah biru dalam bahasa Indonesia. Bukan hijau seperti biasanya. Sedangkan dongker berarti tua. Bhiru dongker berarti biru tua atau biru gelap yang dalam bahasa Inggris disebut dark blue. Bahasa Belandanya? Donkerblauw.

Baiklah kita bahas bhiru dulu. Bhiru dalam bahasa Madura bermakna dua, bisa hijau atau biru. Biasanya dibedakan dengan penjelas frasa. Bhiru ḍâun ‘biru daun’ untuk hijau dan bhiru langngè’ ‘biru langit’ untuk biru. Biru tua di sebut bungo. Mirip ungu, kan? Nah, ungu sendiri disebut bungo terrong. Ribet gak itu?

Dengan konsep biru yang ribet tersebut, muncul juga frase bhiru dongker. Secara harfiah berarti biru tua. Mengapa tak pakai bungo saja? Atau bhiru tuwa. Mengapa harus dongker? Apa ini tanda bahwa orang Madura memang ghâ-oghâ? Tak tega rasanya menyebut demikian. Baiklah kita sebut saja bahwa orang Madura pun berbahasa Belanda?

Kembali ke 3310. Nokia 3310 ini menceritakan sebuah cerita. He he he... Diksi yang janggal. Menceritakan sebuah cerita. Tentang Nokia ber-casing pink saat si bhiru dongker bermasalah dan masuk reparasi. Kejadian ini terjadi kira-kira setahun setelah Nokia 3310 saya beli. Mungkin lebih.

“Pakai saja hpku, Mas.”

“Serius?” Sambil menatapnya penuh tanda tanya. Hp bukan barang murah. 300 ribu senilai spp satu semester di STKIP. Dia bersedia meminjamkan? Kami tak punya hubungan istimewa. Hanya kenal sedikit akrab. Gak takut hpnya saya jual?

“Serius!” dengan senyum khas-nya. Ia menganjurkan hp itu.

Saya pun mengambil hp tersebut. Dia berpesan agar kartu sim-nya saya amankan. Nomor itu sudah terlanjur menyebar.

Di rumah, saya buka casing belakang, lepas baterai, lepas kartu sim, kemudian saya ganti dengan kartu sim saya. Tentu setelah perangkat dimatikan. Pasang baterai, casing belakang dan tekan tombol on/of. Hp ber-casing pink aktif. Tiga hari saya pakai hp itu dan wajah pemiliknya memaksa masuk dalam memori kepala.

Belakangan beberapa tahun kemudian saya bertanya. Ia menjawab bahwa ia percaya. Dan ketika saya tanya kenapa percaya, ia tak bisa menjelasakan alasannya.

Continue reading TELLO’ TELLO’ SAPOLO BHIRU DONGKER (MADURA PUN BERBAHASA “BELANDA”)

27 Januari 2025

,

FORMALISME RUSIA

 

Latar Belakang

Formalisme adalah teori dan analisis sastra yang berasal dari Moscow dan St. Petersburg. Teori ini muncul pada dekade kedua abad kedua puluh. Karena berasal dari rusia, teori ini disebut formalisme rusia. Di antara tokoh sentral gerakan teori ini adalah Boris Eichenbaum, Viktor Shklovsky, dan Roman Jacobson (Abrams and Harpham 2015:141–42).


Ketika model kritik ini ditekan oleh pemerintah soviet pada 1930-an pusat gerakan ini pindah ke Cekoslowakia. Gerakan ini diteruskan oleh Lingkar Linguistik Praha dengan tokohnya Roman Jakobson, Jan Mukarovský, dan René Wellek. Pengaruh Wellek dan Jacobson meluas sampai ke Amerika ketika mereka mengajar di beberapa universitas Amerika pada 1940-an (Abrams and Harpham 2015:142).

Konsep Dasar

Formalisme berpandangan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa. Bahasa biasa mengkomunikasikan pesan dan informasi pada pendengar dengan mengacu pada dunia di luar bahasa. Bahasa sastra, di sisi lain, menghadirkan bahasa yang mengandung unsur kebersastraan (literariness). Dalam hal ini, Roman Jacobson menyatakan bahwa objek studi sastra bukan karya sastra tetapi kebersastraan (Abrams and Harpham 2015:142).

Karena berbeda dengan bahasa biasa, bahasa sastra menurut Viktor Shklovsky merupakan  hasil estrange atau defamiliarize. Dalam kesastraan Indonesia disebut dengan istilah defamiliarisasi. Defamiliarisasi ini dipakai oleh penulis untuk menghadirkan sensasi baru yang lebih segar (Abrams and Harpham 2015:143).

 

Daftar Pustaka

Abrams, M. H., and Geoffrey Galt Harpham. 2015. A Glossary of Literary Terms. 11th ed. Boston: Cengage Learning.

 

Disusun Muhri untuk materi kuliah

Continue reading FORMALISME RUSIA

20 Januari 2025

, ,

MALU DAN MEMALUKAN: TOḌUS, TONA

 

Yâsinan. Ternyatan tidak hanya baca yasin. Ada juga pembacaan salawat diiringi hadrah.  Gampangnya begitu. Seperti juga tahlilân. Tidak hanya bacaan tahlil. Ada yasin, salawat, zikir, dsb. Kita tidak bicara itu. kita bicara acara makan-makan setelahnya. Disclaimer: kami membaca untuk Allah bukan untuk berhala ya. Soal Allah terima atau tidak itu sepenuhnya di Tangan-Nya. Soal ada yang membid’ahkan itu urusan mulut masing-masing. Saya abaikan. Sebab pernyataan penonton tidak menentukan juara. Hanya juri yang lebih tahu. Dan, juri amalan saya tak usah saya sebutkan. Anda semua pasti sudah tahu. He he he...



To the point saja. Poinnya? Oh iya. Judul. Baiklah saya akan bercerita.

Waktu itu, seingat saya, yasinan diadakan setiap malam Minggu. Maunya saya tulis Ahad. Tapi, sudahlah Minggu resmi dari pemerintah. Malam Jumat untuk perempuan. Dari rumah ke rumah. Tentu rumah anggota. Langkap barat. Saya ikut yasinan langkap barat. Sorenya pasang toa. Jauhari ahlinya. Naik pohon, perbaikan, dsb. Saya? Tim hore. Kadang tukang panggul dari masjid ke TKP.

Ketika sampai di masjid setelah pemasangan, sering kali ada pertanyaan bocoran. Apa kedi’? ‘Apa nanti malam?’ Dan itu selalu mengarah ke “Makan apa kita nanti malam?” Disclaimer lagi. Ini tidak terkait dengan datang atau tidak datang. Hanya gurauan. Sebab, setelah ada jawaban, kami tertawa bersama-sama. Apa pun hidangannya nanti malam.

Yasinan dimulai setelah maghrib. Geng masjid berangkat semua. Saya sebut anggotanya. Biar tak penasaran. Abdul Halim, Anas, Basri, Hamzah, Idris, Jauhari, Ros, dan Seli. Tentu saya juga. Anggota istimewa Barmawi dan Ridwan. Menjelang isya salah satu pamit pulang ke masjid untuk azan. Setelahnya langsung kembali ke TKP. Begitu selalu. Salat setelah pulang. Tentu berjamaah. Acara dimulai dengan pembacaan yasin lalu salawat nariyah dilanjutkan salawat barzanji dengan hadrah. Tentu dengan mahal al-qiyām alias berdiri. Sambil goyang-goyang kecil. He he he..

Ramah tamah. Eh salah. Makan-makan. Dan... ini saat krusial. Terutama kami bagian ujung lingkaran. Kanan atau kiri. Jika ada tujuh orang, piring bisa delapan, sembilan, dan seterusnya. Tuan rumah? Hanya tersenyum dan pura-pura tak melihat. Dan siapa yang makan lebih dari satu? Ada di antara kami yang menawarkan. Itu pemantik saja. Yang lain mengambil piring kedua. Bahkan, ketiga. Sambil tersenyum dia berkata, “Toḍus, tona.” Artinya, ‘Malu, rugi.’ Itulah mantra yang melancarkan rizki. He he he...

Pelaku tidak malu. Sebab, ini sama sekali tidak memalukan. Suasana akrab dan menyenangkan memberi ruang. Ruang kejujuran dan apa adanya. Bahkan jika tuan rumah melihat ada kelebihan piring makan yang belum termakan, ia akan berkata, “Ayo tamba. Ongghu.” ‘Ayo tambah. Sungguh.’ Maksudnya tuan rumah tidak sekedar basa-basi menyuruh kami nambah jatah. Ia senang jika suguhannya dimakan oleh yang hadir.

Setelahnya, pengurus menyebutkan siapa giliran malam minggu berikutnya. Lalu ditanyakan OK atau not OK. He he he.. Ini bahasa saya. Jumlah akhir kas juga disebutkan. Kami bubar dengan slawât dongkra’. Secara harfiah berarti salawat dongkrak. He he he... Maksudnya allahumma shalli ‘ala muhammad. Yang dijawab dengan salawat pendek oleh yang lain secara bersama-sama. Salawat ini meringankan pantat naik untuk berdiri. Sebab, tidak nyaman untuk pulang lebih dahulu sebelum yang lain. Mirip dongkrak yang bisa mengangkat barang berat.

Tentu kami tidak bisa pulang lebih dulu. Kami harus menurunkan toa, mencabut semua kabel dari ampli. Termasuk menggulung kabel listrik, kabel mik, dsb. Lalu kami bawa kepenyimpanan di ruangan samping pengimaman. Kami tidur di serambi luar masjid dengan alas tikar pandan yang dibawa dari pemakaman, pembungkus mayat. Tentu setelah dicuci.

Wallahu a’lam bis sawab.

Continue reading MALU DAN MEMALUKAN: TOḌUS, TONA

27 Oktober 2024

,

PAGAR ASRI:[1] DAYA HIDUP SASTRA BANGKALAN

 Muhri

STKIP PGRI Bangkalan

 

Pagar Batin: Jati Diri Sastra Bangkalan

Sastra Indonesia modern Bangkalan telah ada sejak 1960-an. Pelopornya R. Syarifuddin Dea yang dikenal oleh sastrawan Bangkalan dengan nama panggilan Babe. Penulis lain adalah Pak Narto dengan nama pena Rasnavastara.[2] Generasi pertama ini agak sulit ditelusuri mengingat pada generasi ini minim arsip dan publikasi.

Sastra Bangkalan sebagian besar tidak ditulis oleh kaum santri. Hal ini berbeda dengan sastra Indonesia di Sumenep. Seniman Bangkalan awal sebagian besar dari kaum ningrat yang memiliki akses pada pendidikan formal. Generasi berikutnya dari sekolah-sekolah negeri yang memiliki komunitas seni. Komunitas sekolah ini menghasilkan tokoh-tokoh generasi kedua seperti Ribut Rahmat Jaya, Sunar Dwigjo Wahono, Sonny T. Atmosentono, R. Timur Budi Raja, M. Helmy Prasetya, dsb. Kiprah generasi kedua ini pada masa sebelum 2000, kira-kira 1990-an.

Meski-sudah aktif sebelum tahun 2000-an, hampir semua penerbitan karya dilakukan setelah tahun 2000. Karya yang terbit sebelum itu adalah Anak Beranak (R. Syarifuddin Dea dan R. Timur Budi Raja, 1998) dan Nyanyian Tanah Kering (Antologi Bersama, 1999)[3]. Pelacakan karya bisa dilakukan dengan melihat angka tahun misalnya pada puisi yang dicantumkan dalam buku.

Generasi ketiga lahir di perguruan tinggi, terutama di STKIP PGRI Bangkalan. Generasi ketiga melahirkan penulis-penulis seperti Rozekki, Anwar Sadat, Muzammil Frasdia, Muhlis Alfirmany, Eko Sabto Utomo, Andi Moe, dsb. Jika generasi sebelumnya, sebagian besar berasal dari sekitar kota bangkalan, generasi ketiga ini berasal dari berbagai penjuru kabupaten Bangkalan.

Pada generasi ketiga ini, ada sastrawan Bangkalan yang secara sejarah agak berbeda latar belakang. Salah satunya Ahmad Faishal (Acong). Acong memang berasal dari kabupaten Bangkalan. Ia menempuh pendidikan sampai setingkat SMA di Bangkalan. Akan tetapi, dalam bersastra, ia berproses di Surabaya. Ia pernah menjadi ketua Teater Gapus dari kampus Unair Surabaya.

Di sisi lain ada Buyung Pambudi. Bermula dari jurnalis JTV yang ditugaskan di Madura, BP berasal dari Pati Jawa Tengah. Bukan orang Madura, tetapi mulai menulis sastra di Madura. Sebenarnya, kiprah BP sudah sejak tahun 2000-an. Namun dosen di STKIP PGRI Bangkalan ini menulis buku pertamanya pada 2016. Tulisan sastra pertama dosen yang berbahasa Madura ini berupa memoar, based on true story, berjudul Cinta di Kaki Bukit Baiyun[4]. Buku ini bercerita tentang perjalanan penulis mengantar istrinya berobat ke negara China.

Generasi keempat diisi oleh penulis-penulis mahasiswa. Sebagian besar menulis hanya sebagai ekspresi eksistensi diri. Bukan sebagai hobi apalagi sebagai jalan hidup. Karena kemudahan publikasi, generasi ini paling banyak menghasilkan buku sastra. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya 45 buku puisi pada 2016 dan 37 buku puisi pada 2017. Buku-buku tersebut diterbitkan dalam euforia Festival Puisi Bangkalan pertama dan kedua.

 

Pagar Diri: Kekuatan Sastra Bangkalan

Menilik penjelasan sebelumnya, masa depan kesusastraan Bangkalan masih bisa diharapkan. Sejak sastra Bangkalan ada dan berkembang, tidak kurang dari 40-an penulis telah menyumbangkan ide dalam bentuk tulisan. Sejak 1998 sampai hari ini selalu ada karya yang terbit pada tiap tahun sampai 2022. Pada 2023 memang tidak tercatat ada karya yang terbit. Namun kosongnya catatan tersebut tidak menunjukkan bahwa tidak ada karya yang terbit pada tahun tersebut. Data yang saya sajikan pada chart ini hanya data dari komunitas Bangkalan, terutama KML, Komunitas Bawah Arus, dan Kopi Lembah. Data ini belum memasukkan sumber dari Kalam Literasi Kwanyar (KLK) yang tetap aktif sampai hari ini. Sebagian besar karya KLK dalam bentuk prosa

Berikut disajikan diagram terbitan buku sejak 1960-an sampai dengan 2024. Daftar lengkap sastrawan Bangkalan dan karya-karya mereka bisa dibaca dalam Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan.

 

Jumlah terbitan dari 1966-2024

 

Diagram tersebut menunjukkan kesusastraan Bangkalan terus berlangsung. Perkembangan produksi sastra, meski fluktuatif, juga terus berjalan. Kepesertaan dalam event sastra juga terus terjadi dan mengindikasikan kepenulisan sastra di Bangkalan terus berlangsung. Terakhir Rozekki menjadi juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala HB Jassin 2024. Berikut daftar prestasi individu penulis Bangkalan.


2024    Rozekki “Kampung yang Dikuasai Sapi” Juara III Penulisan Cerpen Tingkat Internasional Piala HB Jassin

2023    Eko Sabto Utomo Burdah nomine sayembara buku puisi tunggal Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh penerbit DIVA Press

2017    Rozekki Fragmen Pasar Burung 13 Naskah Teater Terpilih Rawayan Award 2017 (tanpa pemenang)

2016    Joko Sucipto Klonnong Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2016

2016    Suryadi Arfa 10 besar dalam seleksi antologi nasional Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta[5]

2013    Muzammil Frasdia Pilkada 10 Besar naskah drama terbaik versi Federasi Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki

2004    Rozekki Lomba Menulis Naskah Monolog Budaya Antikorupsi Tempo

 


Daftar tersebut hanya menyajikan sebagian kecil dari keaktivan penulis Bangkalan dalam peristiwa-peristiwa seni. Meski bukan menjadi tolok ukur utama, sistem seleksi ini menunjukkan bahwa sastrawan Bangkalan diakui dalam dunia sastra di Indonesia. Tentunya, kualitas sastra tidak diukur dari menang atau tidaknya sebuah karya dalam sabuah event kompetisi.


 

Pagar Luar: Potensi Jangka Pendek

Dalam perjalanan panjang kesusastraan Bangkalan, kekuatan sastra Bangkalan pada jenis puisi. Sebagian besar masih bercorak liris. Hanya penulis puisi yang sudah matang yang mengeksplorari corak naratif dan dramatik. Unsur tema masih seputar filosofi hidup, ungkapan keindahan yang romantik, dan pseudoetnografi dari buku-buku etnografi Madura yang cenderung generalistik. Tema cinta masih dominan pada dekade 2000-an. Tema cinta mulai berkurang dan sedikit meluas pada hal-hal lain pada dekade setelah 2010. Tema politik juga seperti menjadi tabu yang seolah “haram” dalam puisi.

Ditinjau dari publikasi, terdapat banyak publikasi yang bisa dijangkau untuk saat ini. Penerbitan lokal yang bisa diakses dengan biaya relatif murah adalah STKIP PGRI Bangkalan press dan penerbit Komunitas Masyarakat Lumpur. Dari kedua penerbit, KML hari ini masih dalam pembenahan sehingga belum bisa menerima penerbitan buku.

Terbitan berkala belum tersedia dengan baik. Terbitan cetak yang pernah ada Buletin Komunitas Masyarakat Lumpur. Tidak ada terbitan berkala cetak dari komunitas lain. Buletin ini hanya terbit tiga kali. Dari pertanyaan akrab pada pengurus, masalah terbesar pada pengelola. Untuk KML yang waktu itu memiliki pengurus dalam jumlah besar, motor penggerak buletin hanya Joko Sucipto. Selain itu, kontributor dan skema rubrik juga sulit dikembangkan. Dari dua terbitan, rubrik buletin cenderung berubah.

Media daring yang tersedia juga tidak banyak. Terutama media yang cenderung terstruktur dengan baik. Media YouTube, misalnya, yang tersedia hanya dari Komunitas Masyarakat Lumpur. Yang lain menggunakan nama pribadi seperti Sanggar Lukis Lebur memakai nama pendirinya yaitu Anwar Sadat. Demikian Komunitas Bawah Arus tidak punya kanal YouTube. Yang ada hanya kanal bernama Timur Budi Raja.

Media daring yang berbentuk web juga tidak banyak. Salah satunya ruangbudaya.com yang saya dirikan. KML pernah membuat media web dan tidak dilanjutkan lumpurkomunitasmasyarakat.blogspot.com. Setahu saya, situs ini dibuat oleh Suryadi Arfa pada 2016. Tidak ada unggahan pada web blog ini. Hanya ada sebuah laman berisi profil.

Pada media sosial facebook, hampir semua komunitas memiliki akun. Akun Kalam Literasi Kwanyar bernama Klk Kalam Literasi Kwanyar. Akun Komunitas Kopi Lembah bernama Paguyuban Seni Kopi Lembach. Akun ini juga memiliki satu laman facebook bernama Kopi Lembah yang post terakhirnya tahun 2021. Yang terkuat di antara semua adalah Komunitas Masyarakat Lumpur. Nama akun Masyarakat Lumpur, tanpa komunitas.

Meskipun keterbacaan media sosial penting, keamanan data dan keberlangsungan tetap dimiliki oleh situs web. Ada banyak alasan. Pertama struktur unggahan yang lebih mudah ditelusuri dengan widget kategori dan menu. Kemampuan menyimpan file digital atau pengutipan dari url tertentu. Ketersediaan di mesin pencari web juga menjadi keunggulan situs web dibandingkan dengan sosial media. Yang terpenting dari semua adalah kelayakan dalam sitasi keilmuan. Apalagi jika komunitas tersebut menyediakan terbitan berkala dalam bentuk majalah, tabloid, buletin, atau terbitan berupa buku. Tidak harus ber-ISBN.

 

Pagar Kampung: Potensi Jangka Panjang.

Selain kurangnya publikasi konvensional, perlu juga disampaikan bahwa masa depan sastra tidak bisa mengabaikan aspek digital. Aspek ini dalam banyak komunitas dianggap tidak penting dan kurang relevan. Sebagai seni digital memang dianggap tidak “tulen”, tradisi populer, tidak mendukung peradaban yang baik, dsb. namun, Pada sisi konservasi, digitalisasi menjadi aspek kunci dari pengarsipan.

Selain itu, sastra juga harus mengikuti perkembangan pembacanya agar tidak terasing dari dunia nyata. Aplikasi digital seperti Wattpad misalnya tetap bisa menjadi media untuk menulis sastra serius. Meski mengindikasikan popularisme, media seperti wattpad tetap tidak menolak sastra serius. Salah satu yang sukses dengan media daring adalah Agnes Davonar yang memulai debutnya di friendster lalu blog pribadi. Karya monumentalnya Surat Kecil Untuk Tuhan.[6]

Selain itu, pengabadian selama ini hanya dilakukan dengan media ilmiah dalam bentuk karya ilmiah mahasiswa berupa skripsi, tesis, dan disertasi, penelitian ilmiah dalam jurnal penelitian, dan bentuk lain yang memiliki jarak signifikan dengan pembaca umum. Salah satu tulisan penting yang mendekatkan adalah terbitan-terbitan digital yang bisa diakses dengan mudah. Fiksi fan Indonesia misalnya bisa menjadi alternatif pengabadian karya. Jika musik dinyanyikan kembali, sastra ditulis kembali oleh penggemarnya. Dengan tidak mengabaikan hak cipta, fiksi fan atau fiksi penggemar bisa menjadi salah satu pilihan untuk belajar menulis.

Akhirnya, sebuah daya hidup akan menua ketika tidak mengikuti perkembangan sumber kehidupan. Digitalisasi, publikasi multimedia, trasformasi karya dapat menjadi penopang yang menguatkan dan mensolidkan semua bangunan inti dari sastra dan kesenian. Tanpa itu, sebagus apa pun sebuah karya akan aus dimakan zaman. Yang terpenting regenerasi yang baik dan maju dan di sisi lain produksi, reproduksi, dan konservasi.

 

Daftar Pustaka

Muhri, and Eli Masnawati. Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan. Bangkalan: Komunitas Masyarakat Lumpur, 2018.

Muhri, Muhri. “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah Sastra.” Atavisme 20, no. 2 (December 30, 2017): 168. https://doi.org/10.24257/atavisme.v20i2.305.168-180.

Pambudi, Buyung. Cinta Di Kaki Bukit Baiyun. Bangkalan: YPLP-PT PGRI Bangkalan, 2016.

“Peluncuran Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.” Berita Bali, October 28, 2016. https://www.beritabali.com/berita/201610280004/peluncuran-buku-puisi-klungkung-tanah-tua-tanah-cinta.

“Profil Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan | Kumparan.Com.” Kumparan, 2020. https://kumparan.com/berita-hari-ini/profil-agnes-davonar-yang-melejit-lewat-buku-surat-kecil-untuk-tuhan-1udyyxD3rgR.

 



[1] Terjemahan paghâr perna tajuk acara Komunitas Masyarakat Lumpur. Makalah ini disampaikan pada 12 Oktober 2024

[2] Muhri, “Perkembangan Tema Puisi-Puisi Penyair Bangkalan: Kajian Sejarah Sastra.”

[3] Muhri and Masnawati, Historiografi Ringkas Kesusastraan Bangkalan, 16.

[4] Pambudi, Cinta Di Kaki Bukit Baiyun.

[5] “Peluncuran Buku Puisi, Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta.”

[6] “Profil Agnes Davonar Yang Melejit Lewat Buku Surat Kecil Untuk Tuhan | Kumparan.Com.”


Video acara di Komunitas Masyarakat Lumpur 

dari kanal resmi Komunitas Masyarakat Lumpur




Continue reading PAGAR ASRI:[1] DAYA HIDUP SASTRA BANGKALAN